Di banyak organisasi, kursi seakan lebih berharga dari pada tujuan. Kursi itu dipuja, dibela, bahkan diperjuangkan mati-matian. Ironisnya, kursi yang seharusnya menjadi simbol amanah, justru menjelma jadi "tuhan baru" yang memecah persaudaraan.
Kisah ini bermula dari mereka yang kalah. Kekalahan memang pahit, tapi kelompok itu memilih meracik rasa pahit menjadi racun. Mereka menolak menerima kenyataan, lalu mencari kawan seiring, yaitu kelompok sakit hati. Dari dua luka, lahirlah sebuah gerakan. Bukan gerakan mulia, melainkan gerakan untuk menjatuhkan.
Mereka pandai meramu kata. "Persatuan," begitu dalihnya. Mereka teriak lantang seolah malaikat penjaga solidaritas. Padahal, yang mereka jaga bukanlah persatuan, melainkan gengsi yang patah. Mereka ingin kursi itu roboh, organisasi itu punah, bahkan jika harus menghapusnya dari sebuah kota.
Ironinya, kelompok pemenang yang semestinya bersorak gembira pun sempat limbung. Rekan dekat diadu domba, isu disebar, gosip ditebar. Semua demi satu hal, jatuhkan kursi. Bayangkan, persaudaraan bisa ditukar dengan intrik murahan hanya karena seonggok kayu berlapis kain beludru.
Dan para tetua? Sosok yang mestinya jadi pagar moral, malah sering dijadikan stempel palsu. Restu mereka dipelintir, dijual, dan dipakai sebagai senjata. Di sinilah kursi benar-benar kehilangan makna, ia tak lagi bicara tentang kepemimpinan, hanya sekadar alat legitimasi perpecahan.
Kritik keras harus diarahkan. Bukan semata pada siapa yang kalah atau menang, tetapi pada penyakit yang lebih busuk, budaya kalah menyerang dengan cara arogan dan tak sehat. Sebuah virus yang merobek martabat organisasi sedikit demi sedikit.
 Jika berlarut dalam kondisi seperti ini, apa gunanya kursi? Apa gunanya organisasi yang tak lagi mengurus publik, melainkan sibuk menyiapkan perang kelompok tanpa akhir?
Sejarah selalu punya cara mengolok-olok mereka yang buta ambisi. Karena persatuan selalu lebih panjang umur dibanding kursi. Bahkan pada akhirnya, kursi akan berdebu, sementara dendam yang diwariskan hanya jadi bahan tertawaan generasi berikutnya.
Catatan: Tulisan ini adalah opini pribadi penulis. Segala pandangan, analisis, dan kritik di dalamnya tidak mewakili sikap resmi organisasi, institusi, ataupun pihak mana pun.
Oleh: Ahmad Rahmansyah