Mohon tunggu...
REZAWAHYA
REZAWAHYA Mohon Tunggu... PNS -

Penulis dengan multi-interest Ingin berbagi ilmu dan kebahagian kepada orang lain terutama kaum muda

Selanjutnya

Tutup

Money

Konsumerisme Memacu Inflasi

7 Juli 2016   19:08 Diperbarui: 7 Juli 2016   19:11 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

"Harga  ayam potong naik!", begitulah celoteh seorang ibu di Pasar tradisional pada hari H-1 lebaran dua hari lalu. Memang betul, pada saat itu harga daging  ayam yang  biasanya  berkisar "dua puluh  tujuh ribu  hingga tiga puluh  lima ribu  rupiah", tiba-tiba  melonjak  jadi dua kali lipat. Suatu  harga  yang  sudah tidak wajar lagi untuk ukuran  masyarakat yang  berpenghasilan rendah (baca miskin). Untuk memenuhi kebutuhan lebaran  dengan berbagai pangananan sederhana  saja, uang seratus  ribu tidaklah  cukup untuk membeli bahan baku memasak seperti santan, bumbu masak, cabai, hingga  sayur-mayurnya. Kesemuanya itu  akibat tingginya permintaan pasar di saat stock barang di pedagang  yang terbatas. Hal itulah dalam istilah ekonominya dikenal dengan inflasi. 

Inflasi  diharapkan  sekecil mungkin, karena kaitannya dengan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja perekonomian  suatu pemeriintahan. Kalau inflasi yang  tidak terkendali, seperti harga  naik dua kali lipat, maka guncangan ekonomi  di level bawah (orang-orang  miskin) pasti akan terjadi. Pada saat harga beras (misalnya) naik  dua  kali lipat, sudah pasti orang miskin tidak akan mampu membeli dalam jumlah  yang cukup apalagi lebih  untuk kebutuhannya. Sehingga inflasi akan berdampak  juga  kepada sosio--ekonomi hingga sosio-politik. Sebagaimana  kita ketahui yang  mendasari  reformasi  1998, salah  satunya dipicu  krisis moneter yang tidak kunjung  selesai pada saat itu.

Mari kita teliti kembali inflasi yang  terjadi di bulan Ramadhan  yang baru lalu; di awal Ramadhan kita  sudah dihebohkan dengan naiknya  harga  daging sapi. Kemudian diikuti dengan kenaikan harga kebutuhan pokok  lainnya, seperti gula dan terakhir  harga daging ayam. Kenaikan tersebut  menujukkan jelasssekali sifat konsumerisme kita meningkat di  bulan tersebut. Pemerintah sudah melakukan operasi pasar  dengan menjual daging  import seharga  delapan puluh ribu rupiah, tapi kenyataannya harga daging di pasar tradisional tetap tidak bergeming  dari kisaran seratus  tiga  puluh ribu hingga seratus empat puluh ribu  rupiah. Itu artinya masih  tingginya  permintaan pasar pada saat Ramadhan hingga  menjelang  Idul Fitri.

Sifat  konsumerisme yang  tinggi selama satu bulan  berpengaruh  terhadap tingginya  inflasi di  bulan tersebut. Kalaulah inflasi  di antara 10 - 30  %, maka suatu  hal yang wajar, tapi kalaulah  sudah  mencapai di  atas  100%  atau dua kali lipat  dari  harga sebelumnya, maka pengaruhnya akan sangat luas. Seandainya masyarakat dapat mengerem  sifat "petualangan kuliner" selama Ramdhan hingga  lebaran, maka dipastikan permintaan akan kebutuhan pokok akan  biasa saja. Ini sangatlah berbeda dengan kenyataan, di bulan Ramadhan  bisnis kuliner  bak  cendawan di musim hujan, hampir  di  semua  sudut  jalan tidak ada yang  kosong  dari lapak penjual panganan untuk  berbuka, dari makanan ringan  hingga makanan  pokoknya. Belum  lagi berbagai paket buffet yang ditawarkan semua agent perhotelan dan restaurant serta cafe-cafe. Petualangan lidah orang-orang  merasa tertantang dengan menahan lapar di siang  hari dan harus memuaskannya pada saat berbuka dengan  makanan yang lezat dan  berkualitas.

Sehingga  wajarlah, konsumerisme meningkatkan  inflasi. Kalaulah  inflasi bersifat sementara, tidaklah menjadi kendala. Yang  menjadi masalah  kita  semua  adalah  pada saat inflasi tersebut  bersifat permanent. Bagaimana bisa? Dengan  skenario kenaikan  daging ayam  yang dua  kali lipat  dari harga  biasanya, dan seandainya penurunannya hanya tiga  puluh  persen  dari  harga kenaikan tersebut, maka dipastikan harga  penyesuaian baru  dari daging ayam tersebut  adalah  naik tiga puluh  hingga lima puluh persen dari  harga  sebelum  Ramadhan. Itu adalah  contoh  kalau kenaikan  temporary (sementara) diikuti dengan inflasi yang  permanent. 

Kalau sudah  begitu, siapa yang  akan dirugikan? Yang jelas rakyat yang kurang mampu. Kemudian pemerintah akan  bekerja keras  lagi  untuk mendorong pasar kembali ke arah  normal,  akibatnya  anggaran subsidi pemerintah akan  tersedot ke  pasar untuk menstabilkan  harga. Padahal anggaran tersebut  bisa saja  dialokasikan untuk  yang lain, seperti pembangunan infrastruktur.

Akhirnya, saya merekomendasikan kepada kita semua  mari  tahan nafsu belanja  kita, walaupun  ada  dana yang berlebih, sebaiknya diinvestasikan. Kurangi belanja secara berlebihan di  saat  bulan amdahan atau  bulan  ke-agamaan  lainnya (natal dan tahun baru). Harapannya, kalau  kita tidak terlalu konsumerisme, maka inflasi akan rendah dan  seandainya kenaikan harga  tidaklah semelonjak seperti sekarang  ini.

Palembang, 7  Juli  2016

Bacaan:

https://galihpangestu14.wordpress.com/2011/03/23/dampak-inflasi-terhadap-perekonomian-indonesia/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun