Mohon tunggu...
Siti Nur Rahmah
Siti Nur Rahmah Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

hobi baca webtoon dan mempelajari hal baru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahaya Budaya Konsumerisme di Kalangan Remaja

2 Maret 2024   22:15 Diperbarui: 2 Maret 2024   22:43 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi konsumerisme oleh penghasil gambar ai/dok.pri

Budaya konsumerisme yang semakin merajalela di kalangan remaja membawa dampak serius pada perkembangan moral, sosial, dan psikologis mereka. Fenomena ini tidak hanya mengubah cara remaja berpikir tentang kebutuhan dan keinginan, tetapi juga memicu perilaku yang lebih ekstrem, termasuk keberanian untuk melawan orang tua jika keinginan mereka tidak terpenuhi. Kita akan menggali lebih dalam tentang bahaya budaya komsumerisme di kalangan remaja dan bagaimana hal tersebut dapat mengubah dinamika hubungan keluarga.

Budaya konsumerisme, yang merayakan kepemilikan barang dan citra, telah memberikan dampak yang signifikan pada remaja. Mereka terpapar oleh iklan, media sosial, selebritis, dan tekanan teman sebaya yang mendorong mereka untuk memiliki barang-barang terbaru. Sebagai hasilnya, remaja cenderung menghubungkan nilai diri mereka dengan barang-barang yang mereka miliki. Inilah yang memicu keinginan yang kuat untuk memenuhi ekspektasi sosial dan memiliki segala sesuatu yang dianggap populer atau "kekinian".

Dalam upaya untuk memenuhi keinginan ini, remaja seringkali berani melawan orang tua mereka. Mereka sering menuntut, mengeluh, atau bahkan bisa melakukan tindakan-tindakan ekstrem seperti mencuri uang atau melakukan tindakan melawan norma lainnya. Tindakan ini dapat menciptakan ketegangan di dalam rumah tangga dan merusak hubungan orang tua-anak.

Salah satu dampak negatif yang paling mencolok dari budaya konsumerisme adalah terkikisnya nilai-nilai moral dan emosional pada remaja. Mereka mungkin kehilangan kemampuan untuk bersyukur dan merasa puas dengan apa yang mereka miliki. Alih-alih menghargai nilai-nilai inti seperti kerja keras, kesederhanaan, dan keberlanjutan, remaja lebih cenderung fokus pada pencapaian materi dan popularitas.

Selain itu, budaya konsumerisme juga memicu masalah psikologis pada remaja, seperti kecemasan dan depresi. Mereka yang tidak dapat mengikuti tren ini sering kali merasa tertinggal dan merendahkan diri sendiri. Ini dapat menyebabkan tekanan mental yang signifikan dan memengaruhi kesejahteraan mental mereka.

Sebagai masyarakat, kita perlu menyadari bahaya budaya komsumerisme ini dan berusaha untuk merubahnya. Orang tua memegang peranan penting dalam membentuk sikap anak terhadap uang dan kepemilikan. Pendidikan mengenai nilai-nilai seperti kesederhanaan, penghargaan terhadap kerja keras, dan kebijakan keuangan seharusnya dimulai dari keluarga. Selain itu, penting bagi sekolah untuk memasukkan materi mengenai literasi keuangan dalam kurikulum mereka agar remaja dapat memahami pentingnya mengelola uang dengan bijak.

Selain dari segi pendidikan dan pengaruh selebritis, media sosial dan iklan harus berfokus pada nilai-nilai positif dan memberikan teladan yang sehat. Masyarakat juga dapat berperan dengan mendukung gerakan kesadaran konsumen dan mempromosikan gaya hidup yang berkelanjutan.

Penting bagi remaja untuk memahami bahwa nilai sejati dan kebahagiaan tidak selalu terkait dengan kepemilikan materi atau barang "kekinian". Oleh karena itu, perlu ada upaya bersama dari keluarga, sekolah, dan masyarakat untuk memerangi budaya komsumerisme yang merugikan ini. Dengan mengubah sikap dan perilaku remaja sejak dini, kita dapat menciptakan generasi yang lebih bijak dalam menggunakan uang dan lebih menghargai kerja keras orang tua sebagai sosok yang selalu berusaha membahagiakan dan mencukupi kebutuhan anaknya.

Ingatlah, Allah tidak menyukai hamba-Nya yang menghamburkan hartanya secara berlebihan apalgi untuk hal yang kurang bermanfaat. Seperti dalam kutipan QS. Al-Isra:27 berikut (dibaca: Innal mubazziriina kaanuu ikhwaanash shayaatiini wa kaanash shaytaanu li Rabbihii kafuuraa)
Yang artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun