Mohon tunggu...
Bloor
Bloor Mohon Tunggu... Lainnya - Masih dalam tahap mencoba menulis

Tertarik pada pusaran di sekeliling lapangan sepak bola. Belajar sejarah bukan untuk mencari kambing hitam

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tak Semua Generasi Emas Berkalung Medali Emas

4 Juli 2021   06:45 Diperbarui: 4 Juli 2021   06:48 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tendangan melengkung Insigne antar kepulangan Belgia. (Claudio Villa/Getty Images)

Kekalahan Belgia dari Italia di perempat final Euro kali ini mungki juga sebagai gerbang penutup hagemoni generasi emas Belgia sejak 2014. Ada nama-nama menterang di setiap lini De Rode Duivels macam Courtois di bawah mistar, kuartet bek Vertonghen-Vermaelen-Alderweireld-Kompany, gelandang brilian Kevin de Bruyne dan Eden Hazard, sampai striker tenaga diesel Romelu Lukaku. 

Namun generasi hasil revolusi sepak bola Belgia ini tak pernah sekalipun sekadar menembus final turnamen sampai di tahun 2021 ini. Mungkin gelaran Piala Dunia tahun depan benar-benar menjadi penentu penghabisan generasi ini.

Langkah Belgia mengikuti jejak tim negara-negara lain yang pernah dicap generasi emas di berbagai irisan masa. Tak sedikit yang hanya berakhir sebagai lip service media-media meski ada juga yang benar-benar meraih langit kejayaan. 

Meda seringkali menggoreng timnas suatu negara yang sebelum-sebelumnya tak terlalu berprestasi namun akhirnya datang menantang turnamen dengan skuad mewah. Sebelum dikenal dengan nama-nama De Bruyne dkk, Belgia absen di turnamen besar sejak 2002 sampai 2012. Meski juga sempat merasakan masa keemasan pada 1980an.

Banyak tim yang sudah dilabeli golden generation, sebut saja Magical Magyars Hungaria 1950a, Yugoslavia akhir 1980an sampai awal 1990an, Inggris awal dekade 2000 yang juga berkelindan dengan generasi emas Portugal dan Italia, atau masukkan saja Prancis belakangan ini. Nyatanya nama-nama itu hanya Italia yang meraih kejayaan di ujung masanya, pada Piala Dunia 2006 dan Prancis tentu di 2018. Lainnya mengepak koper tanpa merengkuh trofi.

Hal tragis menimpa Hungaria dan Yugoslavia yang generasi emasnya menguap sebab kondisi politik negaranya. Sepulang dijungkalkan Jerman di partai puncak Piala Dunia 1954, Magycal Magyars dihadapkan dengan meletupnya rakyat Hungaria melawa pegaruh Soviet. Pemainnya macam Puskas, Czibor, Kocsis memilih meninggalkan negaranya yang sedang dilanda perang.

Sedangkan generasi emas Yugoslavia malah menghadapi perang antar negara-negara dalam Yugoslavia yang berujung pecahnya federasi. Hal yang meletar belakangi Yugoslavia tak ikutan Euro 1992 dan digantikan Denmark. 

Akhirnya pemain-pemainya juga terpecah membela negara barunya macam Suker dan Boban (Kroasia), Safet Susic (Bosnia & Herzegovina), dan Katanec (Slovenia). Negara pecahannya, Kroasia lah yang sampai sekarang paling sukses dengan sempat menembus final Piala Dunia pada 2018.

Timnas Inggris awal 2000an tentu yang paling malang. Berisi materi pemain mentereng, para bintang Liga Primer Inggris yang disebut-sebut terbaik di dunia, mereka hanya menemui kegagalan demi kegagalan. 

Tim dengan materi pemain semewah Beckham, Gerrard, Lampard, Ferdinand, Ashley Cole dan Owen dengan pelatih Sven-Goran Eriksson mentok mereka hanya mencapai babak konck-out pertama di tiap turnamen. Bahkan ada idiom kalau timnas Inggris sebenarnya semut yang digajahkan oleh hiperbola para media Inggris sendiri.

A wally with a brolly. (The Guardian/Tom Jenkins)
A wally with a brolly. (The Guardian/Tom Jenkins)
Catatan tak impresif Inggris kala itu benar-benar usai ketika dengan pilu mereka tak lolos gelaran Euro 2008. Steve McClaren yang ditunjuk semenjak Eriksson dipecat usai Piala Dunia 2006 seolah menyuntik eutanasia bagi 'generasi emasnya' Inggris. 

Pep Guardiola bahkan heran kenapa Inggris yang masa itu materi pemainnya bisa diadu dengan generasi emas Spanyol di masa setelahnya malah tak meraih sebiji trofi pun.

Terkadang juga malah negara dapat meraih kejayaannya setelah ditinggal generasi emasnya. Hal yang sudah dibuktikan Portugal di Euro 2016. Bagi penikmat sepak bola, generasi awal 2000an dimana masih ada nama beken macam Deco, Rui Costa, Luis Figo dan Cristiano Ronaldo muda adalah masa emas-emasnya talenta Portugal. 

Sayangnya kalah di final Euro 2004 yang diselenggarakan di rumah mereka sendiri oleh Yunani yang diberkati oleh dewa-dewa Olimpusnya. Malah dengan skuad pas-pasan Euro 2016, mereka mampu juara meski lolos ke fase knock-out via peringkat tiga terbaik.

Mungkin Spanyol lah negara yang benar-benar memaksimalkan potensi generasi emasnya antara 2008 sampai 2012. Dua kali Euro dan satu Piala Dunia jelas menunjukkan Spanyol adalah adiraja sepak bola internasional kala itu. 

Menjadikan pemain-pemain Barcelona sebagai backbone tim dan mengadopsi tiki-taka yang sedang gemilang mengantar Spanyol yang sebelumnya hanya penggembira turnamen menjadi pemain superiordi turnamen-turnamen selanjutnya. Jelas mereka bukan semut yang digajahkan.

Bagaimana dengan di Indonesia sendiri?. Seringkali frasa generasi emas ini merujuk ke timnas masa awal dekade 2000 dimana timnas diperkuat para alumni program primavera di Italia. Nama-nama macam Bambang Pamungkas dan Kurniawan Dwi Julianto sebagai penyerang, Bima Sakti di lini tengah, Aples Tecuari dan Yeyen Tumena di belakang dan kiper alm. Kurnia Sandi. 

Hasilnya Indonesia rutin masuk Piala Asia meski hanya sebatas fase grup dan hattrick juara dua Piala AFF (Piala Tiger). Akhirnya sampai generasi ini berakhir, Indonesia tak pernah sekalipun menenteng trofi. Mungkin terkecuali Piala Kemerdekaan 2008 yang diingat Indonesia juara di turnamen bikinannya sendiri dan lawannya WO di final.

Ilham Jaya Kusuma, top skorer Piala Tiger 2004 (AFP/Hoang Dinh Nam)
Ilham Jaya Kusuma, top skorer Piala Tiger 2004 (AFP/Hoang Dinh Nam)
Generasi emas terlepas hanya pepesan media bisa menjadi tolak ukur perbaikan pengelolaan sepak bola oleh federasinya. KBVB (federasi sepak bola Belgia) bereaksi atas penurunan prestasi timnas dan membangun rancang bangun pembinaan pemain muda dibawah arahan Michel Sablon. 

Generasi emas Inggris adalah produk kompetisi kelas atas di Liga Primer dan terakhir Prancis punya Clairefontaine sebagai lembaga produsen pemain-pemain top.

Terakhir, generasi emas bukanlah tujuan akhir serangkaian pembangunan sepak bola di suatu negara. Selanjutnya adalah mempertahankan standar emas ini ke masa mendatang, bisa saja Belgia memang tak lagi punya generasi emas tapi sebab tetap mempertahan standarnya mengangkat trofi hanya tinggal menunggu waktu. 

Indonesia sejak awal 2010an sudah dihinggapi hype atas talenta-talenta mudanya, sayang entah mengapa prestasi seketika anjlok di level senior. Generasi emas memang tak dilahirkan, tapi memang dibangun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun