Mohon tunggu...
Revi Masengi
Revi Masengi Mohon Tunggu... -

Saya bukan siapa-siapa, bukan pula jurnalis. Hanya orang biasa yang suka menuangkan isi kepala ke dalam sebuah karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bulan sabit di teras rumah

10 Maret 2011   22:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:53 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mobil yang Rifky kemudikan berbelok menuju sebuah jalan kecil di kawasan Bintaro. Jalan buntu itu hanya muat untuk dilewati oleh dua buah kendaraan saja. Sebuah kendaraan lain berpapasan melintas. Rifky tahu persis siapa pemiliknya, namun tak ia hiraukan. Bodo amat! Yang ada dalam benaknya hanyalah untuk bertemu dengan sang pujaan hati.

Namanya Shinta.

Hari-hari belakangan ini, wajah Shinta selalu terbesit dalam angan Rifky, melintas sekilas dalam menghias mimpi. Bagai bayang-bayang kelabu menaungi kalbu, keberadaan Shinta mulai mengusik ketentraman jiwa Rifky. Sejak ia berjumpa dengan Shinta, walau tanpa kehendak, Rifky menaruh jua sedikit rasa padanya. Awalnya, Rifky berusaha untuk tak peduli, mengacuhkan setitik benih yang mulai tumbuh dan ia rasakan. Aahhhh, nggak mungkin lahh! Secepat itukah sekuntum bunga dapat merekah, bahkan pada tanah yang tersubur sekalipun? Rifky mencoba melakukan pembodohan terhadap dirinya sendiri. Diam-diam ia mencoba untuk menipu hati. Namun hati bukanlah pedagang warung ataupun kondektur bis yang dapat dengan mudah dan seringkali ia tipu. Adalah sebuah anomali; bahwa akal bulus, kecerdikan, bahkan kelicikan tak berlaku disini. Hati hanya mengenal kejujuran. Dan demi sebuah kejujuran, hati itu tak segan untuk melakukan sebuah ’serangan balik’. Ia mulai menggusur akal sehat, menggantinya dengan siratan-siratan asmara. Semuanya membuat apa yang Rifky rasakan semakin menjadi. Rasa itu, tak ayal bagai raja yang berkuasa, mengambil-alih sebagian ruang dari dalam relung hatinya.

Selenting suara berujar, “Apa sih yang istimewa dari seorang Shinta? Bukankah di luar sana juga banyak gadis berparas manis, bahkan yang jauh lebih cantik daripada Shinta yang ‘biasa-biasa’ saja?! Jakarta ini luas loh, mas!”

“Dengarkan aku wahai nurani, janganlah menghasut diriku dengan pernyataan sedangkal itu!”, Rifky berkata singkat menepis ujaran sisi lain belahan dirinya

Perasaan Rifky terhadap seorang wanita amatlah tajam. Lewat impresi pertama, lewat tutur kata, lewat gerak-gerik, lewat perilaku, apa yang ia rasakan serta penilaiannya terhadap seseorang hampir tak pernah meleset. Demikian pula tentang Shinta. Saat kali pertama ia melihatnya, Rifky tahu pasti ada sesuatu yang terpendam dibalik penampilan serta sosok Shinta yang tomboy. Penampilan itu hanya topeng, yang dapat diubah, dicopot ataupun dipasang sesuai kehendak pemakainya, Rifky mulai berfilsafat. Meski ia hanya dapat memandang Shinta melalui celah-celah tirai hati, meski tak segamblang bila ia memandang laut dari pinggiran pantai, meski kali ini penglihatannya buram bagai terhalang kelambu. Namun satu hal yang Rifky yakini; bahwa Shinta, sosok yang belakangan membuatnya meradang, ia adalah seorang wanita sejati.

“Kata siapa? Mendingan situ jangan belaga sok tau deeh!”, lagi-lagi selentingan suara terngiang di telinga Rifky.

Ia tak memiliki rumus ataupun formula apapun yang yang dapat dengan tepat membuktikan kebenaran teorinya tersebut. Namun Rifky tahu, perkataan nurani tak pernah berdusta dan ia terlampau amat percaya bahwa itulah yang menyebabkan seorang Rifky tak mampu menipu hati serta membendung perasaannya.

…Hanya saja Rifky bukan sosok pria yang terlalu pede, percaya diri. Yang menganggap dirinya ganteng, digila-gilai wanita. Ia hanyalah pria biasa. Rifky, si pria sederhana, dengan segala keberadaannya. Tak ada kemewahan, tak pula ada kemegahan tercermin dari kesehariannya. Sadar akan keterbatasan dirinya, membuat semua rasa itu, pikiran itu, keyakinan itu, hanya Rifky sembunyikan di dalam laci hatinya yang terdalam, lalu menguncinya di sana.

*****

Dari kejauhan tampak Shinta yang masih berdiri di tepian pagar, mungkin ia habis mengantar kepergian si empunya mobil yang berpapasan dengan Rifky tadi. Rifky segera memarkirkan mobilnya tak jauh dari tempat dimana Shinta berada, lalu ia berkaca dan merapikan sedikit dandanannya. Lumayanlah. Demikian pikirnya. Setelah mematikan mesin kendaraannya, Rifky bergegas turun tanpa perlu berpikir panjang. Saat kakinya melangkah, hatinya berdebar. Tatapannya terpaku pada sang pujaan hati. Ia mencoba untuk tetap terlihat biasa-biasa saja, meskipun ia sungguh sangat merindukannya…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun