"Gue lagi mikir," ujar Nadia sambil menatap ke luar jendela. "Kalau kita tua nanti, dan wajah kita udah nggak bisa disembunyikan dengan benang atau filler... apa yang akan kita ceritakan ke anak-anak kita?"
"Cerita yang layak diceritakan adalah perjalanan, bukan penyangkalan," jawab Rida.
Maharani tertawa kecil. "Oke deh, mulai hari ini... mungkin gue masih pakai skincare, tapi gue stop dulu mikir buat operasi kelopak. Mungkin alis jatuh ini memang perlu biar gue inget... bahwa waktu itu nyata."
"Gue malah pengin punya kerutan. Satu buat tiap kesalahan yang gue pelajari, dan satu lagi tiap tawa yang gue bagi," kata Jamila sambil tersenyum lebar.
Mereka pun menyeruput kopi masing-masing. Tidak untuk pamer di story Instagram, tapi untuk menghargai momen. Karena seperti kopi, hidup ini tak selalu manis. Tapi selalu bisa dinikmati---jika kita tahu caranya.
Penutup
Cerita ini bukan anti-operasi plastik, bukan pula penghakiman. Ini hanya secangkir perenungan di antara kepulan kopi dan percakapan perempuan zaman now. Bahwa di balik wajah-wajah yang kita poles dan filter yang kita gunakan, ada cerita-cerita yang lebih layak dirayakan: tentang menerima, ikhlas, mencintai, bersyukur, dan menjadi otentik.
Karena seperti kata Pak Rahman sang barista: "Wajah itu seperti lukisan. Biarlah punya goresan yang jujur---asal ia hidup dan punya cerita."
Dan seperti secangkir kopi yang tak pernah sama, wajah kita adalah rasa unik yang patut dinikmati, bukan diseragamkan. Mungkin esok lusa, mereka tidak akan lagi memikirkan ukuran bibir atau tinggi tulang pipi. Tapi mereka akan duduk bersama lagi, berbagi cerita, dan tertawa sampai nangis---karena itulah yang benar-benar membentuk wajah kita: pengalaman, tawa, air mata, dan... secangkir kopi yang tak pernah habis diceritakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI