"Yang mana? Yang suaranya berat kayak mas-mas stasiun radio?" sahut Nadia cepat, ikut geli.
"IYA! Astaga, itu yang duduk di pojokan. Mukanya tuh udah kayak... kayak boneka. Kenceng, licin, kayak baru keluar dari oven."
"Gue tuh beneran ngira dia waria, sumpah!" kata Maharani, memukul-mukul meja sambil ngakak. "Gue udah siap manggil 'Mas' lho, tapi pas dia buka masker dan bilang 'Assalamu'alaikum, Ukhti', ya Allah... suaranya kayak Logan di film Wolverine!"
"Gue nggak enak banget waktu dia nyapa gue: 'Teteh, masih ingat aku nggak?' Dan otak gue kayak nyari database... loading... gagal!" tambah Nadia. "Ternyata... dia itu mantan anak ekskul marawis SMA kita!"
Rida menutup muka dengan syalnya sambil tertawa. "Aduh ya Allah, ya ampun... ini kenapa Rida makin absurd sih. Kayaknya kita butuh ID Card permanen, lengkap sama foto pre-op!"
"Atau barcode wajah!" seru Jamila.
"Atau... pas kita salaman, langsung muncul pop-up: 'Wajah ini telah mengalami 7 kali pembaruan. Swipe untuk versi asli.'"
Mereka tertawa terpingkal-pingkal sampai Maharani hampir menumpahkan oat latte-nya.
Tak jauh dari mereka, seorang barista senior sedang meracik kopi sambil mendengarkan percakapan itu dengan diam-diam. Namanya Pak Rahman, pensiunan dosen seni rupa ITB yang kini memilih menjadi barista di usia senjanya.
"Maaf Ibu-ibu... boleh saya menyela sebentar?" katanya sopan.
Mereka menoleh, sedikit kaget.