"Saya cuma mau bilang... bahwa wajah, seperti lukisan, punya garis aslinya. Kalau terlalu banyak dihapus dan ditimpa, lama-lama hilang jiwanya."
Sejenak hening.
"Mungkin saya ketinggalan zaman, ya. Tapi seni sejati itu bukan meniru wajah orang lain, tapi merayakan bentuk asli kita dengan sepenuh hati. Sama kayak kopi. Arabica dari Gayo, beda banget sama dari Flores. Tapi dua-duanya punya cita rasa dan cerita sendiri. Nggak perlu jadi espresso semua."
"Pak, boleh nggak saya pinjam quote itu buat story?" ujar Jamila sambil menyalakan kamera HP.
"Asal bukan buat endorse klinik oplas, ya," kata Pak Rahman sambil terkekeh. Semua pun tertawa.
Esoknya, Rida memutuskan menulis refleksi di blog pribadinya. Judulnya: Secangkir Kopi dan Cerita Wajah Kita. Ia mulai dengan kisah Maharani, Nadia, Jamila, dan dirinya sendiri. Bukan untuk menghakimi, tapi merangkul.
Ia menulis tentang budaya self-love yang sesungguhnya. Ia mengutip hadis tentang kebersyukuran atas penciptaan, juga membahas perspektif psikologi tentang dysmorphophobia yang kini makin meningkat di kalangan perempuan berhijab. Ia menulis: "Kita bukan musuh cermin. Kita hanya lupa, bahwa yang kita lihat di sana bukan sekadar kulit, tapi juga sejarah."
Blog itu viral. Banyak yang merasa relate. Banyak juga yang tersentuh.
Beberapa minggu kemudian, sebuah pesan masuk ke email Rida.
"Assalamu'alaikum Mbak Rida. Saya seorang mahasiswi kedokteran. Terima kasih sudah menulis dengan hati. Tulisan Mbak menyelamatkan saya dari Ridat oplas yang sudah di depan mata."
Di sebuah sore bulan Juli yang mendung, keempat sahabat itu kembali duduk di pojok jendela Dago, masing-masing dengan kopi favorit yang kini punya makna baru.