Tawa mereka pecah. Beberapa pengunjung melirik. "Sumpah ya, gue tuh kangen ketawa sampe makeup luntur. Tapi sekarang malah takut ketawa lebar, takut benangnya lepas!" ujar Maharani.
"Gue tuh bingung ya," Rida akhirnya bersuara, perlahan. "Apa iya, kita harus segitunya merombak wajah buat jadi percaya diri? Padahal kita berhijab, lho. Harusnya yang dipoles bukan cuma luar, tapi dalam."
Nadia tersenyum kecut. "Gue setuju sih, tapi coba loe buka Instagram. Semua influencer, semua brand ambassador... ya gitu mukanya. V-line, hidung mancung, bibir ranum. Kalo nggak kayak gitu, susah, Da. Dunia tuh jahat."
Maharani mengangguk. "Aku awalnya juga mikir gitu. Tapi pas masuk umur kepala tiga, eh kok makin insecure. Suami makin sukses, anak-anak makin gede, aku ngerasa... makin tenggelam. Padahal aku pengin tetap punya eksistensi."
"Kita ini korban standar yang kita buat sendiri," ujar Rida. "Lucunya, kita yang membangun dunia palsu itu, lalu kita terperangkap di dalamnya."
Obrolan mereka bergulir, berpindah dari topik operasi plastik ke tren aesthetic clinic, sampai ke kasus tragis seorang selebgram yang meninggal setelah operasi di Bangkok.
"Eh tahu nggak, yang si Monica Arvinda itu? Meninggal gara-gara emboli pasca sedot lemak. Badannya nggak siap. Tapi tekanan netizen tuh, parah. Komennya kayak: 'Duh, kok makin gendut ya? Nggak kayak dulu.' Padahal dia baru lahiran!" ujar Nadia sambil menggeleng.
"Gila ya... berarti body shaming itu literally bisa membunuh," bisik Rida.
"Makanya, gue sekarang kalo lihat komen jahat di IG, langsung scroll. Tapi tetep, jempol gatel pengin jawab. Tapi ya, takut dosa. Akhirnya ngetik panjang, trus... dihapus," kata Jamila sambil memutar bola mata.
"Gue pernah bales, 'Mak lo cakep nggak?', eh langsung di-block sama yang punya akun!" Maharani ngakak sendiri.
"Eh-eh, tapi kalian inget nggak yang di arisan kemarin di hotel itu?" Jamila mendadak berseru, menahan tawa.