Tokoh utama yang menjadi rujukan filsafat ini adalah filsuf Yunani kuno, Plato. Melalui "Alegori Gua"-nya yang terkenal, Plato menggambarkan manusia seperti tahanan dalam gua yang hanya bisa melihat bayangan di dinding. Mereka mengira bayangan itu adalah kenyataan, padahal realitas sejati ada di luar gua, di dunia ide yang terang benderang oleh cahaya kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Bagi Plato, tugas pendidikan adalah membebaskan manusia dari gua kebodohan dan menuntun jiwanya untuk "mengingat" kembali ide-ide sempurna yang sebenarnya sudah ada di dalam dirinya.
Jadi, menurut idealisme, pengetahuan sejati bukanlah tentang mengumpulkan fakta-fakta dari dunia luar, melainkan tentang menggali dan menyadari kebenaran universal yang ada dalam pikiran atau jiwa kita. Tujuan hidup tertinggi adalah mencapai keselarasan dengan ide-ide universal ini.
Bagaimana Implikasinya dalam Pendidikan?
Ketika kacamata idealisme dikenakan untuk memandang dunia pendidikan, lanskapnya berubah secara drastis. Berikut adalah beberapa implikasi utamanya:
Tujuan Pendidikan: Pembentukan Karakter dan Intelektual Luhur Bagi idealisme, tujuan utama pendidikan bukanlah untuk mempersiapkan siswa memasuki dunia kerja, melainkan untuk membentuk karakter yang mulia dan mengembangkan potensi intelektualnya secara maksimal. Pendidikan bertujuan untuk mendekatkan siswa pada kebenaran (ilmu pengetahuan dan filsafat), kebaikan (etika dan akhlak), serta keindahan (seni dan sastra). Sukses tidak diukur dari gaji atau jabatan, melainkan dari kebijaksanaan dan integritas moral seseorang.
Peran Guru: Seorang Teladan Moral Dalam kelas yang berlandaskan idealisme, guru bukanlah sekadar fasilitator atau penyampai informasi. Guru adalah personifikasi dari nilai-nilai ideal yang diajarkan. Ia adalah seorang teladan (role model) dalam kebijaksanaan, kesabaran, dan integritas. Interaksi antara guru dan siswa menjadi sangat sentral, karena melalui dialog dan bimbingan guru lah jiwa siswa dapat "tercerahkan". Guru yang ideal adalah sosok yang dihormati dan digugu, yang mampu menginspirasi muridnya untuk mencintai ilmu pengetahuan dan kebajikan seumur hidup.
Kurikulum: Fokus pada Warisan Intelektual dan Seni Kurikulum idealis akan lebih memprioritaskan mata pelajaran yang dianggap mampu mengasah jiwa dan akal budi. Sastra, sejarah, filsafat, seni musik, agama, dan matematika murni (sebagai latihan logika abstrak) akan menempati posisi sentral. Pelajaran-pelajaran ini dianggap sebagai "warisan peradaban" yang mengandung nilai-nilai dan ide-ide besar kemanusiaan. Sejarah, misalnya, tidak diajarkan sekadar sebagai hafalan tanggal dan peristiwa, melainkan sebagai studi tentang perjuangan ide-ide seperti keadilan, kemerdekaan, dan kemanusiaan. Vokasi atau pelajaran keterampilan praktis mungkin ada, namun posisinya sekunder.
Metode Pembelajaran: Dialog dan Refleksi Karena pengetahuan dianggap berasal dari dalam diri, metode pembelajaran yang paling efektif adalah yang merangsang siswa untuk berpikir secara mandiri. Metode Sokratik (dialog tanya-jawab yang mendalam), diskusi, debat, dan penulisan esai reflektif menjadi pilihan utama. Siswa didorong untuk tidak hanya menerima informasi, tetapi juga mempertanyakannya, merenungkannya, dan menghubungkannya dengan ide-ide yang lebih besar. Lingkungan belajar diciptakan untuk menjadi tempat kontemplasi, bukan kompetisi.
Contoh Kasus: Bayangkan sebuah kelas sastra yang menerapkan prinsip idealisme. Guru tidak akan memulai dengan "Sebutkan tokoh-tokoh dalam novel ini," melainkan dengan pertanyaan seperti, "Apa makna pengorbanan yang coba disampaikan penulis melalui tokoh utama?" atau "Bagaimana konsep keadilan dalam cerita ini bisa kita terapkan dalam hidup kita?" Siswa diajak untuk bergulat dengan gagasan-gagasan universal, bukan sekadar membedah elemen teknis karya sastra. Inilah esensi pendidikan yang memanusiakan.
Penutup
Pada akhirnya, filsafat idealisme mengajak kita untuk melakukan jeda sejenak dari hiruk pikuk perlombaan mencetak generasi yang "siap pakai". Ia mengingatkan kita bahwa ada sesuatu yang lebih fundamental dari sekadar keterampilan teknis dan penguasaan materi, yaitu pembentukan jiwa manusia. Sekolah seharusnya tidak hanya menjadi tempat transfer ilmu, tetapi juga menjadi rahim tempat lahirnya individu-individu yang bijaksana, berintegritas, dan mampu memaknai hidupnya secara mendalam.