Mohon tunggu...
Resti Sari
Resti Sari Mohon Tunggu... Perawat - tie

Penulis amatir, pengkhayal profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Langkah Kuda Prabowo dan Ambisi Jumawa di Pilkada 2018

26 Desember 2017   17:07 Diperbarui: 26 Desember 2017   17:13 1684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.todayonline.com

Ambisi berkuasa. Itulah yang tengah menghinggapi pikiran para pemimpin kita. Sayangnya, hasrat kekuasaan itu sudah meracuni nalar berpikir mereka, sehingga tidak lagi peduli dengan norma dan etika. Fatsun politik dihilangkan, komitmen diabaikan, hanya demi ambisi mengejar kekuasaan.

Baik partai politik penguasa maupun oposisi, kelakuan mereka sama saja. Dulu, lantaran takut berkontestasi, penguasa melabrak konstitusi, dengan memaksakan aturan presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden) tetap bertahan di UU Pemilu. Padahal pelaksanaan pemilu yang akan datang digelar secara serentak, sehingga aturan itu sudah tidak seharusnya digunakan. Tetapi demi menjegal langkah pesaing masuk ke gelanggang, mereka pasang syarat itu untuk menghadang.

Partai oposisi juga tidak bersikap lebih baik. Seperti ada gerakan mengucilkan teman yang seiring sejalan karena memiliki calon potensial. Seperti yang dialami Partai Demokrat. Saat gebrakan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kian menggema di seluruh penjuru Nusantara, tampaknya ada pihak-pihak yang takut kalah suara. Akibatnya Demokrat ditinggalkan, agar nama AHY tidak terus melambung tinggi.

Lihat saja apa yang terjadi jelang Pilkada Jawa Barat 2018. Ketika PKS dan PAN telah komitmen mendukung calon dari Demokrat, Deddy Mizwar, kedua parpol itu hendak berbalik arah untuk ikut gerbong Gerindra yang mencalonkan kadernya, Sudrajat. Semua orang tahu, calon Gerindra itu belum populer, elektabilitasnya rendah, sementara waktu tinggal enam bulan tersisa. Sekjen PAN Eddy Soeparno sendiri mengakui akan sulit menyosialisasikannya.

Tetapi, sejak AHY didapuk menjadi juru kampanye Demiz yang berpasangan dengan kader PKS Ahmad Syaikhu, Gerindra mencoba mempengaruhi dua rekan koalisinya ini. Banyak yang mengatakan, Prabowo khawatir AHY kian populer sehingga pencalonan Demiz harus digagalkan. PKS mulai ragu, mereka meminta waktu ke Demokrat hingga Rabu (27/12/2017) guna membicarakan hal ini. Padahal, tiga hari sebelumnya, Presiden PKS Sohibul Iman masih menyatakan komitmen di Pilkada Jabar kala bertamu ke rumah Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Apa yang ditawarkan Prabowo sehingga Sohibul berniat mengevaluasi dukungan? Berdasarkan informasi yang beredar di internal PKS, Prabowo khawatir popularitas AHY akan semakin membesar di Jabar. Jangan lupa, provinsi ini memiliki jumlah pemilih terbanyak di Indonesia. Basis pendukung PKS dan daerah domisili Prabowo. Tentu saja, suara rakyat di sana harus sangat mereka jaga. Kita semua tahu, sejak jauh-jauh hari Prabowo sudah menyatakan ambisi untuk kembali maju di pilpres. Dengan begitu, setiap batu sandungan mesti dieliminasi sejak dini.

Satu lagi bukti Prabowo berupaya mengamankan kantong-kantong suara pemilihnya, adalah dengan menjalankan strategi langkah kuda. Pada semua pilkada provinsi di Jawa, mantan danjen Kopassus ini ngotot mengusung calon gubernur sendiri. Ia enggan berbagi dengan rekan sesama oposisi. Meski calon yang ia usung itu, kalah populer dibanding calon-calon dari parpol lain. Parahnya, parpol lain yang sebelumnya menjadi petahana, malah bersedia saja menjadi underbow Gerindra.

Seperti Sudrajat di Jabar, yang akan bersaing dengan Ridwan Kamil, Demiz atau Dedi Mulyadi. Lalu Sudirman Said di Jawa Tengah yang bakal menghadapi Ganjar Pranowo atau Budi Waseso. Di Jawa Timur, Gerindra mendapuk Moreno Suprapto, sebelumnya La Nyalla Mattalitti tapi tak dapat dukungan. Untuk di Jatim ini, Gerindra diprediksi hanya akan menjadi pelanduk yang meramaikan pertarungan dua gajah, Khofifah Indar Parawansa (Demokrat, Golkar) dengan Saifullah Yusuf (PDIP, PKB, PKS).

Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago menilai strategi Prabowo menampilkan kandidat yang belum "matang" itu sebagai langkah yang tidak cermat. Tidak akan menguntungkan karena peluang untuk kalah sangat besar. Karena itu ia menganggap strategi kuda Prabowo ini hanya untuk tampil beda saja.

Anggapan serupa juga diutarakan sebagaian kalangan politisi. Mereka menilai Prabowo sedikit jumawa dengan kemenangan kandidatnya di Pilkada DKI Jakarta. Karena itu ia merasa mampu mendominasi pilkada-pilkada lainnya di daerah. Tetapi ia lupa, kemenangan di ibu kota bukan karena jasa Prabowo atau Gerindra belaka, melainkan ada gelombang besar semangat "Asal Bukan Ahok". Sama seperti semangat yang dikobarkan para aktivis '98 dan penggiat HAM pada Pemilu 2014 silam, "Asal Bukan Prabowo."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun