Mohon tunggu...
Sindy Lorenza
Sindy Lorenza Mohon Tunggu... Universitas Muhammadiyah A.R. Fuchriddin

Seorang Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

mudahnya copy-paste, sulitnya berkarya: membangun kesadaran antiplagiarisme di kalangan mahasiswaa

27 Juni 2025   16:53 Diperbarui: 27 Juni 2025   16:59 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam sebuah penelitian, pemahaman mengenai etika atau norma yang berlaku sangat penting sebagai pedoman moral. Etika ini menjadi landasan dalam setiap aktivitas penelitian yang melibatkan hubungan antara peneliti, subjek penelitian, dan masyarakat yang terdampak, baik secara langsung maupun tidak langsung (Notoatmodjo, 2012). Sejalan dengan pentingnya etika dalam penelitian, muncul isu serius yang kerap mencoreng dunia akademik, yaitu plagiarisme. Plagiarisme merupakan fenomena yang sering ditemukan di kalangan akademisi, mulai dari mahasiswa, dosen, hingga guru besar (Hasan, 2016). Contohnya, ada kasus di mana seorang dosen menggunakan skripsi mahasiswa sebagai bahan penelitian tanpa mencantumkan nama mahasiswa tersebut. Di sisi lain, terdapat mahasiswa dari salah satu universitas negeri di Indonesia yang terbukti melakukan plagiarisme pada tugas yang dikerjakannya tanpa melakukan perubahan sedikit pun. Kedua kasus tersebut hanya sebagian kecil dari banyaknya kasus plagiarisme yang terjadi di Indonesia (Sukaesih, 2018).

Plagiarisme termasuk dalam ranah pelanggaran Kode Etik Akademik atau dikenal sebagai ketidakjujuran akademik (academic misconduct) yang mencakup tindakan seperti mencontek, mencari bantuan dari luar, plagiarisme, dan kecurangan elektronik (Adesile et al., 2016; Cronan et al., 2015). Di era digital saat ini, bentuk plagiarisme semakin beragam dan praktiknya menjadi lebih sulit dihindari serta semakin sering terjadi. Dalam konteks penelitian kesehatan, plagiarisme dapat memberikan dampak merugikan, seperti menghasilkan kesimpulan yang keliru, memengaruhi pengambilan keputusan klinis, bahkan membahayakan keselamatan pasien. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengkaji dampak plagiarisme, faktor-faktor penyebabnya, serta menawarkan strategi pencegahan yang efektif. Membangun kesadaran antiplagiarisme di kalangan mahasiswa menjadi langkah krusial untuk menciptakan budaya akademik yang jujur dan berkualitas, di mana proses berkarya lebih dihargai daripada sekadar kemudahan copy-paste.

Berdasarkan hasil yang ditemukan, peningkatan kasus plagiarisme mencerminkan permasalahan serius dalam dunia akademik, terutama dalam bidang penelitian kesehatan. Dimana para peneliti, mahasiswa, dan akademisi perlu mengetahui berbagai hal sebagai berikut:

Pentingnya Kejujuran Akademik dan Tantangan di Era Digital 

Di tengah kemudahan teknologi digital yang memungkinkan mahasiswa mengakses berbagai sumber informasi hanya dalam hitungan detik, tantangan dalam menjaga kejujuran akademik menjadi semakin kompleks. Budaya copy-paste yang marak di kalangan mahasiswa saat ini menjadi salah satu bukti nyata bahwa kemudahan akses informasi sering kali tidak diiringi dengan peningkatan kesadaran etika akademik. Fenomena ini menunjukkan betapa sulitnya bagi sebagian mahasiswa untuk menghasilkan karya ilmiah yang orisinal, kreatif, dan berkualitas. Menurut Lestari dan Adiyanti (2012), kejujuran akademik adalah prinsip dasar yang menuntut individu untuk menyampaikan fakta secara benar dan memperoleh hasil karya melalui proses yang sah dan adil. Dalam konteks penulisan akademik, bentuk nyata kejujuran ini terlihat dari ketaatan mahasiswa terhadap aturan-aturan penulisan ilmiah, termasuk kewajiban untuk menghindari plagiarisme dalam segala bentuknya.

Plagiarisme, sebagai salah satu bentuk pelanggaran etika akademik yang paling umum terjadi di lingkungan perguruan tinggi, didefinisikan dalam Permendikbud Nomor 17 Tahun 2010 sebagai tindakan mengambil sebagian atau seluruh karya orang lain tanpa mencantumkan sumber secara jelas, baik dilakukan secara sengaja maupun tidak disengaja. Permasalahan ini semakin meluas seiring dengan meningkatnya penggunaan teknologi internet di kalangan mahasiswa, yang tanpa disertai kemampuan literasi digital yang memadai, justru memperbesar risiko terjerumus dalam praktik plagiarisme. Tindakan copy-paste dari berbagai artikel, jurnal, maupun situs web tanpa pemahaman mengenai kewajiban sitasi telah menjadi pola yang sering terjadi dalam penyusunan tugas akademik. Berbagai bentuk plagiarisme yang sering ditemukan di kalangan mahasiswa antara lain meliputi plagiarisme ide, di mana mahasiswa menjiplak konsep abstrak tanpa memberikan atribusi yang tepat; plagiarisme kata per kata yang melibatkan pengambilan langsung teks dari sumber lain tanpa kutipan; hingga plagiarisme sumber yang terjadi akibat kegagalan mencantumkan referensi dengan benar. Selain itu, terdapat pula plagiarisme kepengarangan, di mana mahasiswa mengklaim karya orang lain sebagai hasil karyanya sendiri. Berdasarkan kesengajaan, plagiarisme bisa dibagi menjadi dua, yaitu plagiarisme yang disengaja karena niat untuk mencontek dan plagiarisme yang tidak disengaja akibat ketidaktahuan prosedur pengutipan yang benar. Dari segi proporsi, plagiarisme dapat dibagi menjadi plagiarisme ringan (kurang dari 30% isi karya), plagiarisme sedang (antara 30% hingga 70%), dan plagiarisme total (lebih dari 70%). Berdasarkan pola penyajiannya, plagiarisme bisa berbentuk plagiarisme total, parsial, otomatis (self-plagiarism), hingga plagiarisme antarbahasa yang terjadi ketika mahasiswa menerjemahkan teks dari bahasa asing tanpa mencantumkan sumber asli. Dalam konteks penyajian teks, terdapat pula plagiarisme verbatim (penyalinan langsung tanpa perubahan), plagiarisme tambal sulam (penggabungan kutipan dari berbagai sumber tanpa atribusi), plagiarisme parafrase (mengganti kata-kata namun tetap tanpa mencantumkan sumber), hingga plagiarisme struktur ide yang meniru alur gagasan dari karya orang lain tanpa memberikan pengakuan yang layak.

Tantangan utama di era digital adalah semakin tipisnya batas antara inspirasi dan penjiplakan. Fitur teknologi seperti copy-paste, aplikasi penerjemah, serta maraknya situs berbagi dokumen dan jasa penulisan instan semakin memperbesar peluang mahasiswa untuk melakukan tindakan plagiarisme tanpa proses berpikir kritis dan reflektif. Seperti yang diungkapkan oleh Howard et al. (2019) dan Bretag et al. (2018), era digital memang memberikan kemudahan dalam memperoleh referensi, namun tanpa literasi digital yang baik, mahasiswa justru rentan terjebak dalam praktik akademik tidak jujur. Selain itu, Lancaster dan Clarke (2016) juga menyoroti munculnya platform penjualan karya ilmiah yang memperburuk situasi ini, di mana mahasiswa dapat dengan mudah membeli skripsi, makalah, atau artikel jurnal untuk diakui sebagai hasil karyanya sendiri.

Mengingat maraknya fenomena "mudahnya copy-paste" ini, lembaga pendidikan tinggi dituntut untuk lebih serius dalam meningkatkan kesadaran antiplagiarisme di kalangan mahasiswa. Upaya pencegahan tidak cukup hanya melalui pemberian sanksi, tetapi harus dilakukan melalui edukasi yang berkelanjutan tentang pentingnya integritas akademik. Literasi digital mahasiswa harus diperkuat, termasuk pemahaman tentang etika penggunaan sumber, keterampilan parafrase yang benar, serta penggunaan aplikasi deteksi plagiarisme sebagai langkah preventif. Di samping itu, institusi pendidikan harus memastikan bahwa pemanfaatan teknologi digital dilakukan secara etis dan bertanggung jawab. Perlu adanya kurikulum yang menanamkan nilai-nilai kejujuran akademik serta pemberian pelatihan tentang teknik penulisan ilmiah yang sesuai dengan standar internasional. Hanya dengan cara demikian, budaya akademik yang sehat dan bebas dari plagiarisme dapat terwujud di tengah kemudahan akses teknologi yang ada saat ini.

Fenomena maraknya tindakan plagiarisme di kalangan mahasiswa dewasa ini menjadi salah satu tantangan terbesar dalam menjaga integritas akademik, khususnya dalam ranah penelitian kesehatan. Kebiasaan copy-paste tanpa pemahaman mendalam, yang sering terjadi dalam penyusunan karya ilmiah mahasiswa, tidak hanya berdampak pada proses pembelajaran individual, tetapi juga membawa konsekuensi serius terhadap kualitas hasil penelitian yang dihasilkan. Tindakan ini mencerminkan rendahnya kesadaran antiplagiarisme di kalangan mahasiswa dan menjadi ancaman nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan. Dampak utama dari perilaku plagiarisme terhadap kualitas dan kepercayaan terhadap penelitian kesehatan sangatlah besar. Ketika mahasiswa sebagai calon peneliti melakukan tindakan copy-paste tanpa proses pemahaman, analisis, maupun sintesis informasi yang benar, maka keaslian karya ilmiah yang dihasilkan menjadi sangat dipertanyakan. Penurunan nilai orisinalitas karya ini dapat mengganggu proses seleksi jurnal ilmiah dan menurunkan reputasi jurnal yang menerbitkannya. Dalam kasus tertentu, seperti dalam bidang obstetri dan ginekologi, banyak jurnal terpaksa menarik artikel yang terindikasi plagiarisme dari peredaran, yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya informasi penting yang seharusnya menjadi rujukan bagi praktik klinis dan pengembangan pedoman medis berbasis bukti. Selain menurunkan kualitas penelitian, plagiarisme juga memberikan dampak serius terhadap karier peneliti dan citra institusi pendidikan tinggi. Mahasiswa yang terbiasa melakukan copy-paste sejak masa kuliah, ketika memasuki dunia riset profesional, berpotensi besar mengulangi perilaku tidak etis tersebut dalam skala yang lebih luas. Hal ini dapat berujung pada penarikan publikasi, kehilangan hak atas dana penelitian, hingga sanksi administratif seperti pencabutan gelar akademik atau pemecatan. Reputasi pribadi sebagai akademisi menjadi tercoreng, dan lebih jauh lagi, kredibilitas institusi pendidikan tempat mahasiswa tersebut menimba ilmu juga ikut dipertaruhkan. Institusi yang sering dikaitkan dengan kasus plagiarisme cenderung kehilangan kepercayaan dari lembaga pemberi dana, mitra penelitian, serta masyarakat luas.

Dampak plagiarisme dalam penelitian kesehatan juga meluas hingga ke aspek pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien. Penelitian yang disusun tanpa landasan data valid akibat hasil copy-paste yang tidak melalui proses penelitian empiris, sangat mungkin menghasilkan rekomendasi medis yang salah. Pedoman klinis yang dihasilkan dari penelitian plagiasi berisiko tinggi membahayakan keselamatan pasien karena keputusan medis dapat diambil berdasarkan data yang tidak akurat atau hasil manipulasi. Dengan kata lain, kebiasaan copy-paste yang dilakukan mahasiswa saat ini dapat berdampak panjang hingga ke ranah pelayanan kesehatan masyarakat. Selain itu, plagiarisme juga menghambat inovasi ilmiah. Dengan menyalin karya orang lain tanpa upaya pengembangan ide baru, mahasiswa kehilangan kesempatan untuk berkontribusi secara nyata dalam memperluas wawasan ilmu pengetahuan. Budaya copy-paste yang semakin mengakar hanya akan menghasilkan penelitian yang bersifat daur ulang tanpa adanya temuan baru yang bermanfaat. Jika terus dibiarkan, fenomena ini dapat memperlambat perkembangan sains, khususnya dalam bidang kesehatan yang sangat membutuhkan inovasi berkelanjutan untuk menghadapi tantangan global seperti penyakit baru, resistensi antibiotik, atau masalah kesehatan masyarakat lainnya.

Faktor Penyebab Plagiarisme: Mengapa Mahasiswa Memilih Jalan Pintas?

Kemudahan teknologi digital menjadi salah satu pemicu utama suburnya praktik plagiarisme di kalangan mahasiswa. Akses tak terbatas terhadap internet, jurnal online, dan berbagai platform akademik lainnya membuat mahasiswa tergoda untuk memilih jalan pintas berupa copy-paste dibandingkan melakukan proses analisis dan penulisan mandiri. Geraldi (2021, dalam Lubis, F. dkk, 2023) menyebutkan bahwa secara umum, plagiarisme adalah bentuk pencurian ide atau konsep tanpa izin, yang dalam konteks mahasiswa sering terjadi karena keterbatasan kemampuan akademik dan kurangnya pemahaman etika penulisan. Menurut Amiri dan Razmjoo (2016 dalam Maryono, 2018), faktor-faktor yang mendorong mahasiswa melakukan plagiarisme diklasifikasikan menjadi dua kategori utama, yaitu faktor utama (major factors) dan faktor tambahan (minor factors). Faktor utama meliputi rendahnya kemampuan mahasiswa dalam menulis karya ilmiah, minimnya pemahaman tentang metode pengutipan yang benar, serta keterbatasan dalam mengembangkan ide orisinal. Banyak mahasiswa yang belum memahami bagaimana cara menyusun argumen akademik secara sistematis dan logis. Kesulitan dalam menguasai tata bahasa akademik, keterbatasan kosakata, dan ketidakmampuan dalam menyampaikan ide dengan bahasa sendiri turut menjadi alasan utama mengapa banyak mahasiswa memilih jalan pintas berupa copy-paste. Kemajuan teknologi informasi juga menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Fasilitas seperti mesin pencari, aplikasi penerjemah otomatis, dan situs berbagi dokumen membuat mahasiswa semakin mudah melakukan plagiarisme tanpa memproses kembali informasi tersebut. Fenomena ini menunjukkan adanya krisis literasi digital di kalangan mahasiswa, di mana kemudahan akses informasi tidak diimbangi dengan peningkatan kemampuan analisis dan pemahaman etika penulisan ilmiah. Selain itu, faktor tekanan waktu akibat tenggat pengumpulan tugas yang sempit juga menjadi penyebab utama maraknya plagiarisme. Mahasiswa yang merasa terdesak waktu lebih memilih menyalin langsung dari sumber internet dibandingkan menyusun karya secara mandiri.

Amiri dan Razmjoo (2016) menyebutkan bahwa alasan seperti tekanan deadline termasuk dalam kategori minor factors. Namun, faktor ini tetap signifikan dalam mendorong mahasiswa untuk melakukan pelanggaran etika akademik. Kurangnya waktu untuk memahami materi secara mendalam membuat mahasiswa cenderung melakukan tindakan instan tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari plagiarisme. Selain itu, kurangnya pembinaan dan bimbingan dari dosen pembimbing juga memperparah situasi. Mahasiswa sering merasa kesulitan mendapatkan arahan yang tepat dalam proses penulisan, sehingga memilih solusi cepat berupa copy-paste. Untuk mengatasi fenomena ini, sangat diperlukan upaya edukasi yang lebih intensif mengenai pentingnya etika akademik dan bahaya plagiarisme. Institusi pendidikan harus mengambil peran aktif dalam memberikan pelatihan, seminar, serta integrasi materi tentang penulisan ilmiah dan antiplagiarisme dalam kurikulum. Mahasiswa perlu didorong untuk memahami bahwa berkarya secara orisinal bukan hanya kewajiban akademik, tetapi juga bentuk tanggung jawab moral dalam membangun kualitas pendidikan dan integritas keilmuan bangsa. Dengan membangun kesadaran antiplagiarisme sejak dini di kalangan mahasiswa, diharapkan dapat tercipta generasi intelektual yang tidak hanya mampu berpikir kritis, tetapi juga memiliki etika akademik yang tinggi. Hanya dengan komitmen bersama antara mahasiswa, dosen, dan institusi pendidikan, budaya copy-paste yang merusak dapat diubah menjadi budaya berkarya yang sehat, inovatif, dan bertanggung jawab.

Fenomena mudahnya melakukan tindakan copy-paste di kalangan mahasiswa menjadi tantangan besar dalam dunia pendidikan tinggi saat ini. Di tengah kemajuan teknologi informasi yang memudahkan akses terhadap berbagai sumber literatur, kesadaran untuk berkarya secara orisinal justru semakin memudar. Oleh karena itu, upaya membangun kesadaran antiplagiarisme menjadi sangat penting dan mendesak untuk dilaksanakan secara sistematis dan berkelanjutan. Merujuk pada berbagai studi kasus nyata yang pernah terjadi di Indonesia, sebagaimana telah diuraikan dalam bagian pendahuluan, strategi pencegahan plagiarisme perlu ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret dan terukur agar angka pelanggaran akademik ini dapat ditekan secara signifikan. Salah satu strategi utama yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam keterampilan menulis ilmiah. Banyak mahasiswa memilih jalan pintas dengan melakukan copy-paste karena merasa tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam menyusun karya tulis ilmiah yang baik. Untuk itu, lembaga pendidikan perlu menyelenggarakan pelatihan-pelatihan penulisan akademik, seperti workshop teknik penulisan, pembuatan kutipan yang benar, serta pemahaman mendalam mengenai etika penulisan ilmiah. Pelatihan ini sebaiknya diintegrasikan dalam kurikulum atau menjadi program wajib bagi mahasiswa baru agar sejak awal mereka memahami pentingnya menghasilkan karya orisinal. Selain itu, mahasiswa juga didorong untuk rutin melakukan self-assessment melalui proses review dan revisi terhadap setiap tugas atau laporan penelitian yang disusun sebelum dipublikasikan.

Langkah selanjutnya yang sangat efektif dalam pencegahan budaya copy-paste adalah melatih kemampuan parafrase mahasiswa. Parafrase merupakan keterampilan penting yang memungkinkan mahasiswa untuk mengungkapkan kembali informasi dari sumber lain dengan menggunakan bahasa sendiri tanpa mengubah makna inti. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), parafrase adalah pengungkapan kembali suatu teks dengan susunan kata yang berbeda namun tetap mempertahankan pesan aslinya. Proses parafrase ini dapat dilakukan secara manual, yaitu dengan memahami terlebih dahulu isi bacaan kemudian menyusunnya ulang dengan kalimat sendiri. Namun, untuk membantu mahasiswa yang masih dalam tahap belajar, penggunaan perangkat lunak bantu parafrase seperti Turnitin, Grammarly, atau Dupli Checker juga bisa menjadi pilihan. Perangkat tersebut tidak hanya membantu dalam parafrase tetapi juga mendeteksi potensi plagiasi secara otomatis sebelum karya dikumpulkan.

Selain kemampuan parafrase, penerapan sitasi atau pengutipan yang benar juga menjadi kunci utama dalam mencegah plagiarisme. Sitasi dibagi menjadi dua jenis, yaitu kutipan langsung dan kutipan tidak langsung. Kutipan langsung dilakukan dengan menyalin secara utuh kalimat dari sumber referensi tanpa mengubahnya, dilengkapi dengan tanda kutip dan penyebutan sumber. Sedangkan kutipan tidak langsung adalah hasil parafrase dari sumber referensi yang diungkapkan kembali dengan bahasa penulis sendiri, disertai dengan pencantuman sumber aslinya (McMillan & Weyers, 2013). Penerapan sitasi yang baik bukan hanya mencegah plagiarisme, tetapi juga meningkatkan kredibilitas tulisan mahasiswa karena menunjukkan bahwa karya tersebut disusun dengan referensi yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Tidak kalah penting adalah kewajiban mencantumkan referensi dalam daftar pustaka. Setiap sumber informasi yang digunakan dalam penulisan harus dicantumkan dengan format penulisan referensi yang sesuai dengan standar akademik, seperti APA Style, MLA, atau Vancouver, sesuai dengan bidang ilmunya. Dengan mencantumkan referensi secara lengkap dan benar, mahasiswa menunjukkan penghargaan terhadap hak cipta dan karya intelektual orang lain. Selain itu, adanya daftar pustaka juga memudahkan pembaca untuk melacak sumber-sumber yang digunakan, sehingga meningkatkan transparansi akademik.

Strategi lain yang tidak boleh diabaikan adalah mendorong kolaborasi dalam penulisan karya ilmiah. Kolaborasi antarmahasiswa maupun antara mahasiswa dan dosen pembimbing memiliki peran penting dalam mencegah plagiarisme. Dalam proses kolaboratif, setiap anggota tim penulis akan memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan keaslian karya yang dihasilkan. Kolaborasi juga memungkinkan adanya proses cross-check atau pemeriksaan silang antar anggota tim sebelum karya tersebut diajukan untuk publikasi atau penilaian akademik. Hal ini dapat meminimalisir kelalaian maupun tindakan plagiat yang disengaja. Khusus dalam konteks penelitian kesehatan, di mana akurasi data dan orisinalitas hasil penelitian sangat berpengaruh terhadap kebijakan publik dan praktik klinis, kolaborasi penulisan menjadi sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar. Lebih jauh, lembaga pendidikan juga perlu memperkuat penggunaan software deteksi plagiarisme sebagai alat bantu untuk menilai tingkat kemiripan sebuah karya dengan dokumen lain di database global. Turnitin misalnya, telah banyak digunakan oleh universitas di Indonesia sebagai bagian dari prosedur standar penilaian tugas mahasiswa. Langkah ini sangat penting sebagai bentuk pencegahan dini sebelum karya mahasiswa dipublikasikan atau dinilai. Selain itu, penerapan deklarasi bebas plagiarisme sebelum pengumpulan tugas atau publikasi karya ilmiah menjadi bentuk komitmen moral mahasiswa terhadap integritas akademik. Dengan serangkaian strategi yang terintegrasi ini, diharapkan budaya "copy-paste" yang mudah namun tidak bertanggung jawab dapat secara perlahan ditinggalkan. Mahasiswa sebagai agen perubahan harus didorong untuk lebih menghargai proses berpikir, kreativitas, serta orisinalitas dalam berkarya. Melalui upaya kolektif dari mahasiswa, dosen, institusi pendidikan, dan pemerintah, kesadaran antiplagiarisme akan tumbuh dan mampu menciptakan iklim akademik yang sehat, produktif, dan berintegritas tinggi di masa depan.

Dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks terkait maraknya praktik copy-paste di kalangan mahasiswa, peran institusi pendidikan dan pemerintah menjadi sangat krusial dalam membangun kesadaran antiplagiarisme di lingkungan akademik. Pemerintah Indonesia telah menetapkan berbagai regulasi yang bersifat preventif dan represif dalam rangka memberantas plagiarisme yang kian meningkat, khususnya di era digital saat ini yang mempermudah akses informasi tanpa batas. Konstitusi Indonesia, sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dengan tegas menekankan pentingnya pengembangan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini menjadi landasan moral sekaligus hukum dalam menegakkan etika akademik dan memerangi perilaku tidak etis seperti plagiarisme.

Sejalan dengan itu, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menjadi payung hukum yang memperjelas tanggung jawab lembaga pendidikan dalam menjaga kualitas akademik. Ketegasan pemerintah dalam menangani isu plagiarisme tercermin dalam sanksi administratif yang diatur dalam regulasi tersebut, mulai dari pencabutan gelar akademik hingga pembatalan ijazah, sebagai bentuk peringatan keras bagi individu yang terbukti melakukan plagiarisme. Selain itu, melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 17 Tahun 2010, pemerintah mewajibkan setiap karya ilmiah untuk disertai pernyataan bebas plagiarisme, sebagai komitmen tertulis mahasiswa dan peneliti terhadap keaslian karya yang dihasilkan. Di tengah kemudahan teknologi digital yang mendukung praktik copy-paste, institusi pendidikan memiliki peran strategis sebagai garda terdepan dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran akademik dan mendorong budaya berkarya yang autentik. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan perangkat lunak deteksi plagiarisme secara optimal, seperti Turnitin atau Grammarly, untuk memantau dan mencegah tindakan plagiat sebelum karya ilmiah dipublikasikan atau dikumpulkan. Mengingat teknik plagiarisme saat ini semakin canggih---termasuk plagiarisme parafrase otomatis dan plagiarisme antarbahasa---institusi pendidikan juga dituntut untuk terus memperbarui perangkat deteksi dan metode pengawasan agar mampu mengikuti perkembangan modus plagiarisme di kalangan mahasiswa. Selain pengawasan teknologi, penegakan kebijakan internal kampus menjadi aspek yang tidak kalah penting. Setiap mahasiswa maupun dosen diwajibkan untuk menandatangani pakta integritas akademik yang menyatakan komitmen bebas plagiarisme sebelum menyerahkan karya ilmiah, baik berupa makalah, skripsi, tesis, maupun disertasi. Langkah ini bukan hanya bersifat administratif, melainkan juga sebagai bentuk penguatan moral mahasiswa agar lebih bertanggung jawab dalam proses penulisan ilmiah. Implementasi kebijakan ini diharapkan mampu mengingatkan mahasiswa bahwa menghasilkan karya ilmiah adalah proses kreatif dan intelektual yang tidak bisa dicapai dengan sekadar menyalin dan menempel karya orang lain.

Pendidikan mengenai bahaya dan dampak negatif budaya copy-paste juga perlu dijadikan prioritas utama oleh institusi pendidikan. Melalui seminar, workshop, pelatihan penulisan akademik, hingga integrasi materi etika akademik dalam kurikulum, mahasiswa dibekali pemahaman mendalam tentang apa itu plagiarisme, bagaimana bentuk-bentuknya, dampaknya bagi dunia akademik, serta strategi pencegahannya. Edukasi semacam ini penting untuk membentuk kesadaran kolektif di kalangan mahasiswa bahwa plagiarisme adalah tindakan yang merusak integritas diri sendiri, institusi, dan dunia ilmu pengetahuan secara umum. Dalam konteks penegakan aturan, sanksi terhadap pelaku plagiarisme juga perlu diberlakukan secara tegas namun tetap edukatif. Sanksi bisa berupa pengurangan nilai, kewajiban revisi karya, pembatalan kelulusan, hingga pemberhentian dari institusi pendidikan dalam kasus pelanggaran berat yang berulang. Konsistensi dalam menerapkan sanksi ini akan memberikan efek jera dan menjadi pembelajaran moral bagi seluruh sivitas akademika.

Dengan demikian, dalam menghadapi era digital yang menawarkan kemudahan copy-paste namun menyulitkan proses berkarya, sinergi antara pemerintah dan institusi pendidikan menjadi kunci utama dalam membangun kesadaran antiplagiarisme di kalangan mahasiswa. Melalui regulasi yang tegas, edukasi yang berkelanjutan, penguatan sistem pengawasan, serta pemberlakuan sanksi yang konsisten, diharapkan mahasiswa mampu memahami bahwa berkarya secara orisinal adalah bagian penting dari proses pembentukan karakter intelektual. Dengan begitu, kualitas lulusan pendidikan tinggi Indonesia akan semakin meningkat dan mampu bersaing di tingkat global dengan menjunjung tinggi integritas dan etika akademik. Di era digital saat ini, kejujuran akademik dan penghormatan terhadap hak cipta menjadi sebuah keharusan yang mutlak dalam menjaga integritas ilmiah, terutama di kalangan mahasiswa sebagai calon peneliti masa depan. Fenomena "mudahnya copy-paste" yang marak terjadi di berbagai institusi pendidikan tinggi telah menimbulkan kekhawatiran serius terhadap kualitas karya ilmiah yang dihasilkan. Akses informasi yang begitu luas dan instan melalui internet, meskipun memiliki dampak positif dalam memperkaya sumber referensi, di sisi lain justru mendorong perilaku plagiarisme apabila tidak disertai dengan kesadaran etika akademik yang memadai.

Mahasiswa sebagai pelaku utama dalam proses pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab moral dan akademik untuk selalu menjunjung tinggi orisinalitas karya ilmiah yang dihasilkan. Penghargaan terhadap hak kekayaan intelektual orang lain harus menjadi prinsip utama dalam setiap aktivitas penelitian dan penulisan karya ilmiah. Tindakan "copy-paste" tanpa melakukan proses parafrase atau tanpa mencantumkan sumber rujukan yang sah merupakan bentuk pelanggaran etika yang sangat serius. Hal ini tidak hanya melanggar hak cipta, tetapi juga mencederai nilai-nilai dasar pendidikan yang mengutamakan kejujuran, integritas, dan tanggung jawab akademik. Tanggung jawab etis dalam penelitian menuntut setiap mahasiswa untuk selalu merujuk karya orang lain dengan benar melalui sistem sitasi yang sesuai. Penggunaan referensi yang tepat, baik dalam kutipan langsung maupun tidak langsung, merupakan bentuk penghormatan terhadap kontribusi ilmiah penulis sebelumnya. Dalam konteks ini, plagiarisme sebagai tindakan mengambil atau mengklaim karya orang lain tanpa memberikan penghargaan yang layak, menjadi bentuk pengkhianatan terhadap integritas ilmiah yang harus diperangi secara kolektif oleh seluruh sivitas akademika.

Budaya copy-paste yang tumbuh subur di kalangan mahasiswa menunjukkan lemahnya kesadaran terhadap pentingnya menghasilkan karya orisinal. Di sinilah peran penting lembaga pendidikan untuk membangun dan memperkuat kesadaran antiplagiarisme. Salah satu strategi efektif adalah dengan menanamkan nilai-nilai etika akademik melalui sosialisasi, seminar, dan workshop tentang pentingnya kejujuran dalam penulisan ilmiah. Institusi pendidikan juga harus mendorong mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan menulis dan berpikir kritis, sehingga mereka mampu menghasilkan karya ilmiah yang tidak hanya bebas dari plagiarisme, tetapi juga memiliki kontribusi nyata bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, kolaborasi akademik yang sehat perlu dibangun untuk mengurangi kecenderungan melakukan plagiarisme. Kolaborasi antar mahasiswa maupun antara mahasiswa dengan dosen dapat menjadi media pertukaran ide dan pengetahuan yang mendorong kreativitas dalam berkarya. Budaya diskusi, bimbingan intensif, dan supervisi akademik yang berkualitas dapat mencegah mahasiswa mengambil jalan pintas berupa copy-paste dari internet atau sumber lain tanpa izin. Sebaliknya, persaingan akademik yang tidak sehat, terutama yang berbasis pada upaya saling menyontek atau mengambil keuntungan dari karya orang lain, justru dapat merusak iklim akademik yang seharusnya mendukung inovasi dan kreativitas. Bretag (2016) menekankan pentingnya membangun budaya akademik yang menjunjung tinggi kerja sama, saling menghargai, dan keterbukaan antara peneliti. Dalam konteks mahasiswa, hal ini berarti pentingnya mendorong mereka untuk mengutamakan orisinalitas ide dalam setiap tugas, makalah, maupun penelitian yang dilakukan. Peneliti pemula, dalam hal ini mahasiswa, diharapkan untuk lebih berfokus pada proses penciptaan teori baru, analisis mendalam, dan temuan empiris yang orisinal, bukan sekadar menggandakan karya yang sudah ada.

Karya ilmiah yang orisinal tidak hanya akan menambah khazanah pengetahuan dalam bidang terkait, tetapi juga akan memberikan kontribusi positif terhadap kemajuan ilmu pengetahuan di tingkat nasional maupun internasional. Hasil penelitian yang dihasilkan dengan penuh integritas akan lebih mudah dipercaya, diterima, dan dihargai oleh komunitas ilmiah. Sebaliknya, plagiarisme akan merusak kredibilitas individu, mencoreng nama baik institusi pendidikan, dan bahkan dapat berdampak negatif terhadap masyarakat luas, terutama jika plagiarisme terjadi dalam bidang-bidang strategis seperti kesehatan, teknologi, atau pendidikan. Oleh karena itu, dalam menghadapi tantangan era digital yang memudahkan akses informasi sekaligus meningkatkan risiko plagiarisme, mahasiswa sebagai generasi penerus akademisi Indonesia harus membangun komitmen kuat untuk menjunjung tinggi kejujuran akademik. Kesadaran antiplagiarisme harus ditanamkan sejak dini dan menjadi bagian dari karakter akademik yang melekat dalam diri setiap mahasiswa. Dengan demikian, slogan "mudahnya copy-paste, sulitnya berkarya" bukan lagi menjadi realitas, melainkan menjadi tantangan yang mampu dijawab dengan kerja keras, kreativitas, dan integritas tinggi dalam menghasilkan karya ilmiah yang berkualitas.

 Kesimpulan

Melalui uraian pembahasan yang panjang dan mendalam mengenai bahaya serta dampak plagiarisme di dunia akademik, khususnya di kalangan mahasiswa, sudah saatnya seluruh pihak, terutama mahasiswa, menyadari bahwa tindakan copy-paste tanpa proses intelektual yang benar adalah bentuk pelanggaran serius terhadap etika dan moral akademik. Era digital yang serba mudah dan cepat dalam mengakses informasi seharusnya tidak dijadikan alasan untuk membenarkan perilaku plagiarisme. Kemudahan teknologi harus menjadi sarana pendukung dalam memperkaya literatur, memperluas wawasan, dan meningkatkan kualitas karya ilmiah, bukan malah menjadi jalan pintas untuk mendapatkan nilai akademik tanpa usaha intelektual yang jujur. Sebagai mahasiswa, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga integritas diri dalam setiap proses penulisan ilmiah. Karya tulis bukan hanya sekedar tugas kuliah, tetapi cerminan dari sejauh mana kita mampu berpikir kritis, menganalisis masalah, dan memberikan solusi berbasis data serta argumen yang kuat. Setiap ide, analisis, dan pendapat yang kita tulis harus merupakan hasil refleksi dan pemikiran pribadi yang orisinal, bukan hasil menjiplak atau menyalin karya orang lain.

Plagiarisme bukan hanya melukai dunia akademik, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap hasil penelitian dan produk akademik yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Jika budaya plagiarisme terus dibiarkan, maka akan lahir generasi akademisi yang malas berpikir, miskin inovasi, dan jauh dari nilai-nilai kejujuran ilmiah. Dampaknya tidak hanya pada individu pelaku, tetapi juga akan merugikan reputasi institusi pendidikan dan menurunkan kualitas sumber daya manusia Indonesia secara umum. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, penulis mengajak seluruh mahasiswa untuk mulai membangun kesadaran antiplagiarisme sejak dini. Tanamkan dalam diri bahwa setiap proses belajar dan menulis adalah sebuah perjalanan intelektual yang harus dilalui dengan penuh tanggung jawab dan integritas. Jangan mudah tergoda dengan praktik copy-paste hanya demi menyelesaikan tugas dalam waktu singkat. Jadikan proses menulis sebagai media pengembangan diri, tempat menuangkan gagasan, serta sarana membangun karakter akademik yang kuat.

Referensi

(Adesile, I., Nordin, M. S., Kazmi, Y., and Hussien, S. et Al. (2016). Validating Academic Integrity Survey (AIS): An Application of Exploratory and Confirmatory Factor Analytic Procedures. Journal of Academic Ethics, 14, Pp. 149. Doi:10.1007/S10805-016-92, n.d.)

(Astuti, T. K., Sari, I. N., Ramadhani, K., Putri, S. R., Zulkardi, & Sari, N. (2021). Penyebab Dan Penanganan Plagiarisme Di Kalangan Mahasiswa Pendidikan Matematika. Bibliotika: Jurnal Kajian Perpustakaan Dan Informasi, 5(1). Retrieved from Http://Journa, n.d.)

(Bretag, T., & Mahmud, S. (2009). Self-Plagiarism or Appropriate Textual Re-Use? Journal of Academic Ethics, 7(3), 193--205. Https://Doi.Org/10.1007/S10805-009-9092-1, 1-17., n.d.)

(Bretag. (2016). Hanbook of Academic Integrity. 575-571 Https://Link.Springer.Com/Referencework/10.1007/978-981-287-079-7, n.d.)

(Budoyo, S., Dkk. (2018). Analisis Terhadap Pengaturan Plagiasi Di Indonesia. Jurnal Meta Yuridis, 1(2) 11--12. Http://Dx.Doi.Org/10.26877/m-y.V1i2.3384, n.d.)

(Chambers, L. M., Michener, C. M., & Falcone, T. (2019). Plagiarism and Data Falsification Are the Most Common Reasons for Retracted Publications in Obstetrics and Gynecology. BJOG: N International Journal of Obstetrics & Gynaecology, 126(9), 1134--1140. Ht, n.d.)

(Effendi, G. (2019). Tingkat Kesadaran Dan Persepsi Tentang Plagiarisme Pada Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Hasanuddin. Skripsi Thesis, Universitas Hasanuddin. Http://Repository.Unhas.Ac.Id:443/Id/Eprint/3880, n.d.)

(Emosda, E. U. J. (2014). Penanaman Nilai-Nilai Kejujuran Dalam Menyiapkan Karakter Bangsa. Innovatio, 151-166., n.d.)

(Fatkhuri, F., & Nurdin, N. (2022). Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah Bebas Plagiarisme Untuk Mahasiswa Fakultas Hukum UPN "Veteran" Jakarta. SWARNA: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(4), 378--381. Http://Dx.Doi.Org/10.55681/Swarna.V1i4.140, n.d.)

(Hasan, A., Akib, I., & Ibrahim, M. (2016). Fenomena Plagiarisme Mahasiswa. Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi, 4(1), 20., n.d.)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun