Mohon tunggu...
Resi Aji Mada
Resi Aji Mada Mohon Tunggu... Lainnya - Tulisan pribadi

Pernah menjalani pendidikan bidang studi Administrasi Negara di perguruan tinggi negeri di kota Surakarta. Pemerhati isu-isu sosial, politik, dan pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Eksploitasi di Tengah Empati

24 Januari 2023   16:00 Diperbarui: 25 Januari 2023   15:07 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konten mandi lumpur Live tiktok (KOMPAS.COM/IDHAM KHALID) 

 Membahas media sosial sepertinya memang tidak pernah ada habisnya. Wajar sih, soalnya platform digital ini sudah seperti menjadi dunia kedua bagi banyak orang dari berbagai kalangan. 

Media sosial menjadi wadah yang hampir tak memiliki batasan dalam mengatasi pergerakan informasi yang begitu masif. Boleh jadi informasi apapun bisa didapat melaluinya, dari mulai berita, kondisi terkini di berbagai wilayah, kabar kawan-kawan kita yang berada dimanapun, hingga orang menawarkan jualannya pun sangat mudah dan bisa tersebar cepat.

Namun dari masifnya pergerakan informasi itu, ada hal yang belakangan ini mengganjal dalam pikiran penulis. Yaitu terkait fenomena eksploitasi manusia untuk dijadikan konten yang ujung-ujungnya tentu saja untuk mendapat perhatian banyak orang yang akan terkonversi menjadi pundi-pundi pendapatan, baik yang melalui bentuk iklan (atau istilah kerennya adsense) hingga yang secara terang-terangan meminta donasi.

Sebenarnya mendapatkan penghasilan melalui media sosial sama sekali bukan sesuatu yang salah, bahkan media sosial saat ini sudah menjadi tulang punggung pendapatan bagi banyak konten creator dengan segala jenis konten yang mereka buat.

Tetapi ketika penghasilan yang diusahakan melalui media sosial itu didapat dengan melanggar norma, mengeksploitasi orang lain untuk menarik simpati dan empati, bagi penulis rasa-rasanya tidak pas. 

Apalagi yang dieksploitasi ini masuk golongan yang seharusnya malah mendapat perlindungan lebih, pun juga yang melakukan eksploitasi bahkan juga ada figur-figur publik yang tentu saja memiliki banyak pengikut dan pengikutnya tidak menutup kemungkinan bisa terinspirasi melakukan hal yang sama. 

Penulis akan membahas masalah ini dengan menggunakan contoh 3 fenomena saja, walaupun penulis yakin ada jauh lebih banyak fenomena serupa yang terjadi dalam dunia media sosial.

Fenomena pertama yang penulis bahas adalah publik figur yang membuat konten dengan anaknya yang masih bayi, bahkan belum genap 1 tahun. Naik wahana tanpa pengaman yang benar, Anda perlu menyebut nama, tapi pasti banyak dari kita sudah tahu. 

Penulis akui banyak publik figur yang membagikan perkembangan anak-anak mereka melalui media sosial, memperkenalkan kepada banyak orang sekaligus bisa jadi memberikan contoh terkait cara mengasuh anak yang baik. 

Sejalan dengan itu mereka juga pastinya mendapat rating view dan mendapat penghasilan tambahan, dalam hal ini ada dua pandangan yang berbeda: ada yang bilang sah-sah saja dan ada pula yang bilang anak kecil belum waktunya untuk diajak mencari uang, balik ke masing-masing kita lah bagaimana mengambil sudut pandang.

Namun apakah hal yang pantas jika seseorang mengajak anaknya yang masih sangat kecil untuk bermain wahana jetski, di tengah laut, sempat melepaskan pelampung (yang sebagai alat keselamatan) dari tubuh anaknya, kemudian melanjutkan membuat konten? Meski tentu dipegang dan diawasi oleh orangtuanya dan mungkin juga ada tim yang mendampingi, hanya saja tidak tersorot kamera.

Anak usia di bawah 1 tahun untuk diajak bermain di tempat seperti itu saja sudah menjadi sebuah pertanyaan bagi kita, apalagi mengabaikan perangkat keselamatan. 

Belum lagi menurut pandangan penulis pribadi dari berbagai konten yang kemudian diupload, yang menjadi highlight ya si anak ini, menjadi jelas jika memang si anak yang dijadikan obyek utama untuk menarik perhatian, menarik penonton. 

Dilihat dari judul konten-kontennya yang lain yang diupload baru-baru ini, semua berisi tentang si anak dengan berbagai aktivitasnya mengikuti kegiatan orang tua.

Penulis sih tidak tahu apakah masih ada waktu pribadi bagi si anak untuk menjalani setiap tumbuh kembangnya tanpa harus terus diekspos oleh banyak orang, semoga sih masih ada ya. Karena sepertinya anak masih punya hak untuk memiliki kehidupan pribadi sebanyak mungkin tanpa perlu terekspose oleh orang banyak.

Fenomena kedua ramai baru-baru ini, boleh dibilang ini masih paling segar. Melibatkan anak balita yang masih dibawah 1 tahun juga, dan tentu saja peran orang tua. 

Bagaimana bisa dan tega seorang ibu memberikan minuman kopi instan yang biasanya dikonsumsi oleh orang dewasa kepada anaknya yang masih belum genap 1 tahun itu, menguploadnya ke media sosial, bahkan dengan menambah narasi tertulis jika minuman itu mengandung susu yang (katanya) lebih baik daripada kental manis yang tidak memiliki kandungan susu.

Sejak kapan kopi instan menjadi minuman yang lebih baik dari kental manis? Kental manis yang diklaim sebagai “susu” saja tidak direkomendasikan untuk balita, apalagi yang jelas-jelas highlightnya kopi. 

Menurut sumber yang pernah penulis baca, balita setelah umur 6 bulan memang bisa atau boleh diberikan makanan pendamping asi. Bahkan melalui makanan pendamping itu, balita bisa dikenalkan dengan berbagai rasa-rasa, termasuk pedas sekalipun (dalam batas yang aman tentunya).

Melihat kata “pendamping asi” kan berarti asi haruslah masih menjadi sumber utama, kecuali untuk kondisi tertentu dimana anak tidak bisa menerima asi atau asi yang tidak keluar dari sang ibu. Tapi tentu itu kan kasus khusus, dan bukan berarti diberi kopi juga ya, bahkan ketika dengan sadar ibunya tahu bahwa anaknya buang air besar melebihi jumlah normal dalam sehari. Itu kan berarti pencernaan si anak sedang bermasalah, lha kok masih dikasih kopi. Salah kaprah namanya (kalau tidak mau disebut gila).

Untuk fenomena ketiga, kali ini bukan tentang balita lagi. Tetapi penulis lihat jadi salah satu yang bikin gregetan banyak orang juga, yakni fenomena mandi lumpur yang diperankan oleh lansia dengan tujuan untuk meminta donasi (atau orang lebih banyak orang menyebut dengan mengemis online). 

Banyak yang tergerak untuk memberi donasi, meminta untuk menyudahi, menunjukkan sebenarnya masyarakat kita memilik tingkat empati yang tinggi. Sayangnya empati ini yang kemudian semakin dieksploitasi pembuat konten.

Kali ini dari kalangan masyarakat sampai aparatur pemerintahan bahkan setingkat menteri sampai turun tangan. Yang jadi masalah, pemeran lansia ini tidak merasa menyesal, apalagi merasa dieksploitasi, karena menurut beliau dengan melakukan kegiatan itu bisa mendapatkan jauh lebih banyak uang dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya sebagai buruh tani, bahkan perbedaannya bisa mencapai berpuluh kali lipat. 

Sudah jadi rahasia umum tidak pernah hilangnya pengemis di negara ini karena memang pendapatan mereka bisa lebih banyak, bahkan jauh lebih banyak dibanding orang-orang yang bekerja secara normal.

Ketika yang jadi pemeran, yang sebenarnya sedang dieksploitasi saja tidak merasa menyesal, apalagi yang di balik layar mengatur produksi konten, yang ada malah kebanggaan yang bahkan ditunjukkan sampai bisa diundang ke stasiun tv besar. 

Dengan bangganya menceritakan tentang keberhasilan dalam usahanya membangun konten, dan apa yang dia sudah bisa raih. Bahkan ketiga ada orang yang meminta untuk menyudahi dengan memberikan ganti siap untuk mempekerjakan, yang bersangkutan malah meminta ganti uang yang tidak sedikit.  

Dalam fenomena ketiga ini kenapa penulis bisa bilang pemeran sedang dieksploitasi padahal pemeran dibayar? Ya karena yang didapat pembuat konten jauh lebih besar lagi daripada pemerannya, padahal dengan alasan membantu. 

Bagi penulis, ketika kita atau seseorang bilang membantu, seharusnya yang mendapat dampak maksimal ya orang yang dibantu.

Kenyataanya dengan produksi konten yang belum lama, pembuat konten bisa membeli motor cc besar tidak hanya 1 tapi 2 unit, dari sini saja sudah terlihat jika tujuan pertama untuk kepentingan diri sendiri, tapi dengan menampilkan potret kesedihan dari orang lain. Di sinilah eksploitasi itu terjadi, setidaknya menurut penulis.

Ketiga fenomena di atas, dan juga fenomena lain yang tidak diekspose di sini sepertinya akan sulit untuk benar-benar dihilangkan dalam kehidupan bermedia sosial. 

Kenyataanya orang akan berusaha bagaimanapun untuk mencukupi kebutuhan dan keinginannya dengan cara apapun bahkan yang melanggar norma sampai juga melanggar hukum. “yang penting bisa hidup” kalau kata orang-orang.

Ketika seorang konten creator sudah menemukan formula yang pas, cukup dengan mengekspose potret sehari-hari, mengekspose potret kesendihan, mengeksploitasi empati, kemudian mendapat banyak uang dari situ, jelas tidak akan mau mereka diarahkan ke pekerjaan normal yang butuh energi besar dengan pendapatan yang tak seberapa.

Bagi kita para penikmat media sosial, kita yang mengkonsumsi media sosial, sebenarnya dari diri kita sendirilah yang akan menentukan apakah orang-orang itu bisa bertahan. Ketika kita bisa selektif dalam mengkonsumsi konten, apa yang baik untuk dilihat dan apa yang harus diabaikan. 

Ketika kita bisa memilah mana yang benar-benar perlu dibantu, atau berpikir dan berusaha bagaimana cara supaya bantuan kita bisa langsung diterima sasaran. Tentu konten-konten yang kurang pas itu lama kelamaan akan redup dengan sendirinya, karena tujuanya kan memang untuk menarik semakin banyak orang mengkonsumsi.

Masyarakat dan penikmat konten adalah kunci utama yang mampu untuk mengontrol para pembuat konten, karena logaritma mereka sebenarnya sangat sederhana: semakin banyak orang melihat, berinteraksi, maka apapun akan tetap mereka lakukan. Begitu pula semakin sedikit orang mau melihat dan berinteraksi, lama kelamaan mereka akan meninggalkan dengan sendirinya.

Jadi, yuk kita jadi masyarakat media sosial yang sehat, yang tidak memberi panggung pada hal-hal yang tidak pantas. Yang tidak mudah memberi simpati dan empati hanya berdasar sensasi. Tetapi tetap jadi masyarakat yang peka dengan lingkungan sekitar, membantu orang-orang yang membutuhkan di sekitar kita secara langsung, sehingga empati dan manfaat itu bisa langsung dirasakan oleh orang yang kita bantu secara maksimal.

Selamat jadi masyarakat media sosial yang cerdas, selamat jadi masyarakat yang tetap memiliki empati, salam damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun