Tidak ada kata-kata lembut, tidak ada pelukan seperti yang ia lihat dilakukan ibu-ibu lain kepada anak mereka. Hanya perintah, teguran, dan kritik.
Ia rindu ibunya yang telah tiada, sosok yang dulu selalu memeluknya saat ia marah, yang mengusap kepalanya saat ia pulang dari sekolah dengan wajah lesu.
Malam itu, ia mengurung diri di kamar. Ayahnya mengetuk pintu beberapa kali, tapi Satria diam. Ia tak ingin berbicara dengan siapa pun. Ia merasa sendirian. Tak ada yang mengerti kemarahannya, tak ada yang memahami perasaannya.
Namun, ketika malam semakin larut dan hujan mulai mereda, Satria mendengar suara pelan dari balik pintu. Itu suara Rina, berbicara dengan ayahnya.
"Aku hanya ingin dia aman, Mas. Aku takut dia kenapa-kenapa kalau pulang terlalu malam. Aku mungkin belum bisa menjadi ibu yang baik untuknya, tapi aku mencoba. Aku tahu dia belum menerimaku, tapi aku benar-benar peduli padanya."
Satria tertegun. Kata-kata itu terdengar berbeda dari semua teguran yang biasa ia terima. Ada kehangatan di sana, ada ketulusan yang selama ini ia abaikan.
Ia masih marah, tapi kali ini, ada sesuatu yang lain menyelinap di dadanya---sesuatu yang membuat kemarahan itu perlahan mereda.
Dari percakapan itu pula, Satria mulai bertanya-tanya, mengapa ayahnya memilih Rina sebagai istri barunya?
Ia tahu ayahnya sempat mengalami masa-masa sulit setelah ibunya meninggal. Satria ingat bagaimana ayahnya sering pulang larut, tampak lelah dan murung. Saat Rina datang ke dalam hidup mereka, ayahnya perlahan berubah.
Ia lebih sering tersenyum, terlihat lebih tenang, dan tampak ingin membangun kembali kehidupan mereka yang sempat hancur.
Ternyata, Rina diperkenalkan oleh seorang rekan kerja ayahnya, Pak Herman. Menurut cerita yang didengar Satria, Pak Herman adalah teman lama ayahnya yang merasa prihatin melihat sahabatnya begitu larut dalam kesedihan setelah kematian istrinya.