Suatu hari, Pak Herman memperkenalkan Rina kepada ayah Satria dalam sebuah acara keluarga.
Rina, yang saat itu baru saja bercerai dan hidup mandiri, terlihat sebagai sosok yang tangguh dan bertanggung jawab.
Lambat laun, ayah Satria mulai sering berbincang dengan Rina, hingga akhirnya memutuskan untuk menikahinya.
"Aku memilih Rina karena dia adalah perempuan yang baik, Satria," pernah suatu kali ayahnya berkata.
"Aku tidak ingin menggantikan ibumu, tapi aku juga tidak bisa terus hidup dalam kesedihan. Aku butuh seseorang yang bisa menemani, dan aku ingin ada sosok yang juga bisa mendampingimu. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku harap suatu hari kau bisa mengerti."
Satria saat itu tidak menjawab. Ia hanya diam dan berpura-pura tidak peduli. Tapi kini, kata-kata ayahnya kembali terngiang di kepalanya.
Esok paginya, ketika ia keluar dari kamar dan melihat Rina sedang menyiapkan sarapan, Satria tak berkata apa-apa. Ia hanya duduk di meja, menatap sepiring nasi goreng di hadapannya.
"Sarapan dulu sebelum sekolah," kata Rina pelan, tanpa menatapnya.
Satria mengambil sendoknya, mencicipi nasi goreng itu. Rasanya enak, seperti biasa.
Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam rasanya---seperti kehangatan yang baru mulai ia sadari.
Saat itu juga, untuk pertama kalinya, ia memberanikan diri berkata, "Terima kasih, Tante."