Mohon tunggu...
Anjar Anastasia
Anjar Anastasia Mohon Tunggu... Penulis - ...karena menulis adalah berbagi hidup...

Akun ini pengganti sementara dari akun lama di https://www.kompasiana.com/berajasenja# Kalau akun lama berhasil dibetulkan maka saya akan kembali ke akun lama tersebut

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Laki-laki Damai

12 Juli 2019   16:37 Diperbarui: 12 Juli 2019   16:47 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://t3.ftcdn.net/jpg/

Aku memandang perempuanku terkasih ini.

Ia begitu indah bahkan dengan tanpa ulasan kosmetika selain bedak bayi seperti yang pernah ia utarakan selama ini.

"Kulit pipiku sensitif. Jadi tidak bisa sembarangan memakai bedak."

"Memangnya kalau bedak bayi bisa mengatasi masalah itu?"

"Setidaknya tidak ada bahan-bahan kimia yang membuat menambah parah kesensitifan kulitku itu."

Kepalaku mengangguk-angguk.

Sejujurnya aku tak pernah tahu apakah ada hubungannya antara bedak bayi dengan segala bedak bermerek yang pernah kudapati di ruang rias Mbak Gina, kakakku saat ia beranjak remaja dulu.

"Kamu nggak suka kalau aku hanya berbedak begini?" tanyanya pelan.

Kepalaku menggeleng. Kubelai pipinya yang lembut. Tanpa ada sisa minyak di tangan yang membelai pipinya tadi.

"Tidak. Aku tidak mengatakan demikian," bantahku pelan sambil tetap mengulas pipinya yang kini sedikit bersemu merah. Tanganku bergerak lembut laksana mengoleskan pewarna dalam sebuah lukisan yang sedang kugarap. Aku tak ingin, olesan tadi membuat luka atau merusak lukisan bahkan media lukisnya.

"Kalau bergincu?"

Ulasan tanganku berhenti. Sebentar kulihat bibirnya nan memerah delima. Berbentuk seperti lengkungan yang ditengahnya melegok sedikit. Begitu indah.

Lebih lembut kusentuh bibirnya. Ia memejamkan mata. Merasakan sensasi yang mungkin tersetrumkan lewat sentuhan lembutku tadi.

"Bibirmu sudah cukup berkesumba. Tak perlu ditambahkan bahan-bahan lain selain bahan asli dari alam. Bagiku, bibirmu telah sempurna."

Desah nafas terdengar dari lubang hidungnya.

Laksana nyanyian embun pagi yang memberi goresan lain di kaca kamar. Menyegarkan sekaligus menggugah sanubari terdalam.

Aku memandang perempuanku terkasih ini.

Rambutnya yang tergerai indah, melambaikan rinai-rinai aroma perawatan dari tangan. Dia memang sangat telaten mengerjakannya. Sejak kecil hingga ia perlakukan pula pada si kecil kami yang mulai bertumbuh dewasa.

Ia yang dengan rajin meramu daun lidah buaya hingga tersulap menjadi ramuan rambut yang mantap. Dikerjakan sendiri dengan nyanyian hati dalam ketulusan.

"Rambutku mulai memutih. Beberapa kali kudapatkan rontok di sisir," keluhnya pelan.

Aku tidak peduli.

Jemari-jemariku malah bergerak seperti sebentuk sisir menyisir rambut hitam legamnya itu. Tak kudapati selembar pun rambutnya tertinggal diantara jemariku. Atau kilatan warna putih diantara gumpalan rambut hitamnya.

"Buatku, rambutmu tetap sama indah ketika pertama kali kita bertemu. Meski tak sepanjang dahulu, rambutmu tetap memesonaku. Ia tak kan lapuk dipuji biar panjangnya telah berkurang jauh."

"Kau ingat ketika pertama kita bertemu di pintu asrama itu?" perempuan itu mendadak membawa anganku pada suatu ketika.

"Ya," jawabku singkat.

"Aku baru saja mengeringkan rambutku dan kau datang hendak menemui keponakan yang adalah temanku. Kumarahi kau karena aku kaget tak siap menerima tamu. Tapi, matamu justru memandang aneh padaku. Pada rambutku."

"Aku bukan memandang aneh, sayang. Aku memandang kagum," bantahku halus. "Diantara kesibukanmu sebagai calon perawat, kamu bisa begitu telaten merawat salah bagian keindahanmu."

Perempuan itu tersenyum.

Ia sebentar memandangku. Tangannya melingkar ke pinggangku. Kurasakan ada aliran kehangatan yang ia tawarkan di sana. Tentu saja, aku terima dengan senang ria. Bukankah itu perlambang kedalaman hati atas apa pun yang sudah terjadi?

Aku memandang perempuanku terkasih ini.

Detik yang terkumpulkan menjadi waktu kemudian menjadi hari, berlalu bersama niatku untuk menyuntingkan hidupku bersama hidupnya. Selamanya.

Semula banyak keraguan menimpa hati. Hingga akhirnya kebulatan atas niat suci menjadi perekat tak terganti.

"Aku perawat. Waktuku lebih banyak untuk orang lain. Kau tidak bisa berprotes atau bahkan marah atas resiko itu," ujarnya mencoba memberi pertimbangan dahulu.

"Waktumu boleh banyak untuk orang lain. Tapi, hatimu? Hanya untukku."

"Aku tidak bisa sepenuhnya melayanimu dan keluarga kita kelak. Tenagaku yang terkuras di luar rumah hanya menyisakan sedikit untuk beristirahat."

"Badanmu memang tak bisa dipaksa berlebih bekerja. Tapi, ketulusanmu untuk mendampingiku selama-lamanya melebihi segenap tenaga dan waktumu."

Ia bergeming. Lalu tangannya meminta tanganu menggenggamnya erat. "Berjanjilah untuk selalu bersama. Apa pun keadaannya."

"Itulah yang telah dan akan selalu kujanjikan padamu..."

Aku memandang perempuanku terkasih ini.

Bahkan pada kondisi dua anak telah memeriahkan hari-hari kami, perempuanku ini nyatanya mampu membagi waktu dan tenaganya untukku.

Sering kali aku tak habis pikir, bagaimana mungkin ia bisa melakukan hal-hal itu sementara aku sendiri sudah terlalu sibuk dengan diri sendiri dan pekerjaan?

"Jaketnya pakai yang rada tebal, Pak. Kemarin kan Bapak sempat sesak lagi nafasnya," ia mengingatkan sembari menyampirkan jaket dari belakang tubuhku.

"Nggak pa-pa, Bu... Bapak sudah merasa sehat," jawabku sedikit merasa gengsi.

"Bapak merasa sehat, tapi kata dokter kan masih harus dijaga."

Ah.

Terbersit umpatan, 'dasar orang medis', jika kalimat terakhir itu tak bosan-bosannya keluar dari mulutnya. Walaupun aku tahu itu memang kalimat yang benar adanya.

Penyakit paru-paru ini memang telah menyiksaku sekian lama. Sering pula membuatku putus asa. Bahkan pernah sempat mengurungkan niat suciku buat meneruskan menyatukan hidup ini dengan hidupnya.

Tapi, perempuan itu... Sungguh, perempuan itu telah mengubah segalanya.

Tanpa banyak bicara, ia telah menguatkan harapan dan semangatku. Semangat untuk terus bisa berjuang dalam gelutan penyakit yang ku tahu mungkin susah sekali sembuhnya.

"Kalau Bapak jadi mau ikut kami ziarah, Bapak harus nurut kami ya," tambah anak sulungku. Rupanya mereka bersama-sama sepakat untuk tidak membiarkanku tidak menurut.

Akh. Ibu-anak sama saja.

Aku memandang perempuanku terkasih ini.

Duh Gusti...Aku memang benar-benar mengasihi perempuanku satu ini.

Sudah kuutarakan padaMu sesaat di tempat ziarah itu kuterbolehkan sebentar berlabuh.

Dari sepoi angin yang membelai tubuh keringku, aku sungguh bersyukur boleh ke tempatMu ini. Sekadar memuji atau mengagumi karyaMu nan Ilahi.

Walaupun aku baru pertama kemari, ini semua karena perempuanku ini, Gusti. Raga yang bisa melangkah kemari karena mendapat sanggahan semangat tak kunjung padam darinya.

Bahkan dalam kesadaran akan kian rapuhnya raga karena usia, ia tetap ingin menyatakan segala kasihnya dengan bisa mengantarkanku ke sini.

Terima kasih untuk boleh mempertemukan diri dengannya. Jika niat masa lalu tak terwujudkan menjadi seperti sekarang atau bahkan kalau aku harus bersanding dengan yang lain, semua mungkin tak pernah sempat terasakan seumur hidupku.

Matur nuwun, Gusti...

Dan, aku memandang perempuanku terkasih ini.

Berulangkali.

Ia sungguh indah dan sempurna.

Kasihku padanya tak kan terjelaskan dengan apa pun yang pernah terjadi. Bahkan jika memang tabung oksigen atau jarum infus ini harus terlepas dari tubuhku.

Ia tahu itu. Amat sangat tahu.

Dan, kalau aku menyatakan kasih dengan berlalu darinya, itu karena memang peziarahanku harus berlanjut.

Aku mencintainya.

Aku mengasihinya.

Pada segenap kerapuhan ragaku.

Pada segenap kekuatan jiwaku.

"Bapak sudah pergi...," perempuan itu berbisik sembari bermata sembab. "Ia sudah damai sekarang." Ketegarannya merengkuh dua anak kami yang tak bisa mempertahankan derasnya bening air mata keluar, jatuh di pipi.

"Aku selalu mengasihimu, perempuanku..."

(in memoriam pak prap, 16 Nov 2005)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun