Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 19, Malaka) - Konferensi Sejarah dan Masa Depan Uang

1 April 2024   11:10 Diperbarui: 1 April 2024   11:32 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: editan penulis sendiri dari bahan di freepik.com

            Gedung pertemuan itu sangat megah dengan beberapa simbol dan logo yang ditambahkan di samping logo bulan dan bintang kecil di tengah.

            "Itu kan lambang Kerajaan Malaka Di.. yang di tengah," tunjuk Dalem ke arah atas gedung.

            "He em Lem, di samping kiri-kanannya ditambahkan lambang-lambang kerajaan di sekitar malaka.. Hmm kayaknya yg dua dari kanan itu Sarawak..."

            "Ditempel atau dipaku ya Di itu masangnya? Hmm.. yang ketiga dari kiri itu Pattani.. eh di sebelahnya Di!"

            "MATARAM!" ucap keduanya berbarengan.

            "Wah, berarti ada yang ditugaskan ke sini Lem!" keduanya bersemangat untuk segera masuk ke dalam gedung.

            Tak berapa lama kemudian munculah sosok dari keramaian orang-orang yang menuju ke arah gedung.

            "Abdi! Dalem! Cepatnyee kalian berdue! Dah lame kah?" ucap Pak Affar.

            "Ah! belum kok Pak Affar, kita masuk sekarang?"

            "Iyelaah masak nanti siang?"

            Mereka pun tertawa riang sambil memasuki gedung bersama-sama. Ternyata ada undangan khusus yang harus diserahkan. Pak Affar mengeluarkan secarik perkamen berlambang kerajaan Malaka.

            "Bole bawe due orang lain, Abdi.. Dalem..." senyum Pak Affar kepada keduanya yang mengangguk singkat, sibuk melongok ke arah dalam gedung.

            Sepertinya mereka akan berada di tempat yang berbeda dengan para pengunjung yang lain. Benar saja, Pak Affar berjalan menaiki tangga di samping kanan sementara para pengunjung lainnya lurus menuju bagian tengah gedung di lantai satu.

            "Wah, sepertinya tempat kita berbeda dengan yang lain ya Pak Affar?" Abdi segera bertanya.

            "Ade yang kasih undangan ini ke saye Abdi, karne beliau berhalangan. Alhamdulillah rezeki saye bisa ke tempat ni bersame kalian."

            Abdi dan Dalem segera berterima kasih.

            Di bagian atas rupanya telah disiapkan deretan kursi yang ditempatkan dalam kelompok-kelompok. Terbaca dari tempat Abdi dan Dalem di meja terdepan deretan paling kanan tulisan "BRUNEI DARUSSALAM" dan di deretan sebelahnya "SARAWAK".

            "Tunggu dulu.. berarti.. Di ayo coba cari!" Dalem mencoba mengajak Abdi yang ternyata sudah duluan melangkah ke deretan sebelah kiri, sama seperti Dalem, melihat tulisan di ujung terdepan.

            Berjalan hampir ke ujung, matanya tampak terpancang di tulisan pada meja depan. Sejenak Dalem menyadari Abdi sudah menemukannya, namun ia heran kenapa Abdi masih meneruskan langkahnya ke arah ujung. Setelah beberapa saat Abdi pun memanggil Dalem untuk mendekat.

            "Sini Lem! Sini!" tangannya mengajak Dalem untuk segera mendekat.

            Abdi tampak melihat sekeliling empat deretan paling kiri. Sementara itu Dalem baru sampai di tempat tadi Abdi pertama kali terpaku melihat tulisan di meja depan. Sama seperti Abdi, Dalem pun terpaku sejenak melihat ke arah depan, dan benar saja dugaan Dalem tulisan "MATARAM' cukup jelas terlihat dari sana. Tampak di depan tulisan itu lima orang sudah duduk di kursi mengenakan baju seragam yang amat dikenali Dalem. Tampak heran, Dalem pun melanjutkan langkahnya ke arah Abdi yang masih saja mengawasi sekeliling.

            Barulah setelah beberapa langkah menuju deretan selanjutnya ia sejenak terpaku kembali pada meja di depan. Tulisan "GOWA" tampak jelas dan sudah ada beberapa orang yang menempati kursi terdepan. Ia tidak langsung melanjutkan langkah, namun melihat ke sekeliling, sama seperti Abdi. Dengan rasa penasaran yang semakin besar Dalem kembali melihat ke deretan sebelahnya, dan benar saja pandangannya kembali terpancang ke depan, kali ini agak lama karena ia melihat ke arah orang-orang yang berpakaian sangat khas, sebelum matanya beralih ke tulisan di meja terdepan yang bertuliskan "SAMUDERA".

            "Songket..." gumam Dalem yang sekarang menyadari kenapa Abdi tidak berhenti dan duduk di deretan keempat dari kiri.

            "Ayo Lem sini, masih ada satu lagi!" ucapan Abdi terdengar oleh Dalem yang segera melangkah ke deretan terakhir di sebelah kiri.

            "PALEMBANG DARUSSALAM..." ucap Abdi dan Dalem berbarengan sembari melihat ke ujung depan. Rasa penasaran berubah menjadi kekagetan, tak disangka beberapa kerajaan yang sudah mereka kenali ada di gedung pertemuan ini.

            "Kita duduk di sini saja yuk Lem.. Paling juga di deretan Mataram tidak ada yang kita kenal."

            "Iya Di.. pasti senior semua yang diundang ke sini.. atau paling tidak sekelas patih..." mata Dalem melihat orang-orang memakai baju kurung duduk di kursi-kursi bagian belakang di hampir semua deretan yang ada di lantai dua ini.

            "Aman kok Lem.. yuk duduk," keduanya pun memutuskan untuk duduk di kursi paling belakang deretan ujung sebelah kiri.

            Seperempat jam berlalu, di tengah depan empat deretan meja paling kiri duduk seseorang yang kelihatan seperti berasal dari Samudera atau Palembang Darussalam. Ia membawa pengeras suara kecil yang cukup untuk didengar hingga ujung belakang. Di deretan sebelah kanan pun demikian, namun sepertinya yang duduk adalah orang Malaka asli. Abdi dan Dalem pindah agak ke depan, terpisah satu kursi dari orang berpakaian songket khas selatan. Pada meja orang yang duduk di depan ada label tulisan di atasnya, "PENERJEMAH".

            "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," orang di depan deretan sebelah kiri berbicara, begitupula di deretan sebelah kanan.

            "Bismillahirrahmanirrahim perkenalkan Bapak.. Ibu.. Nama saya Indra, saya bertugas untuk menerjemahkan apa yang nanti akan disampaikan oleh para pembicara yang akan berceramah di sini. Sebelumnya saya akan membacakan terlebih dahulu jadwal pembicara..."

            "Wah, kalau di bawah gak dapat penerjemah Di, harus bisa bahasa asing," ucap Dalem berbisik.

            "Alhamdulillah Lem, bisa pusing kalau di bawah. Untung kita diajak Pak Affar.. eh! Iya! Tadi lupa pamit ke beliau kalau kita duduk disini!"

            "Eh, iya! Gimana sih Di, kok kamu lupa!" Dalem melongok ke arah ujung, sudah penuh ternyata, akan susah mencari Pak Affar.

            "Ya sudah nanti kita cari beliau setelah selesai Lem.. sudah gak banyak yang wira-wiri soalnya..." Abdi kembali fokus ke penerjemah di depan yang masih membacakan jadwal ceramah hari ini melalui pengeras suara mininya.

            Ternyata bahasa Arab juga digunakan oleh salah satu penceramah. Dengan total lima penceramah yang akan mengisi, Abdi dan Dalem tidak yakin akan bisa mengikuti seluruhnya. Tak lama setelah penerjemah membacakan jadwal, penceramah pertama ternyata telah siap dan hadir di lantai satu. Suaranya terdengar melalui pengeras suara yang memenuhi gedung, namun demikian suara sang penerjemah tetap bisa dibedakan dan terdengar cukup jelas di deretan Abdi dan Dalem duduk.

            "Sebelum saya menerjemahkan apa yang akan dikatakan oleh pembicara pertama, saya akan terlebih dahulu membacakan biodatanya. Beliau adalah salah satu sheik yang sangat terkenal, lahir di wilayah yang dulunya dikenal sebagai Trinidad & Tobago namun sekarang..."

            "Eh, kok beda sama yang dibicarakan oleh pembicara di bawah?" Dalem terlihat tak fokus dan bertanya ke Abdi.

            "Kan penerjemahnya baru ngenalin siapa yang ngomong Lem! Lagian baru salam dan sholawat kok itu," jawab Abdi segera.

            "Makanya..." sebelum Dalem sempat berkata apa-apa lagi beberapa mata sudah menatap ke arah mereka dengan telunjuk menutup ujung mulutnya. Orang berpakaian songket khas selatan dengan jarak satu kursi dari Abdi menoleh ke belakang, Abdi pun pura-pura fokus ke depan sambil menginjak sedikit kaki Dalem yang agak melenguh karena kesakitan.

            "..Sheik Nazar Imran. Karya tulisnya banyak yang menjadi perhatian bagi dunia islam, kali ini beliau akan memberikan ceramah kepada kita semua yang hadir di Gedung Sejarah Malaka ini mengenai 'PERJALANAN SEJARAH MATA UANG'."

            "The monetary system that running all over the world before..." suara sang penceramah terdengar di seluruh gedung, namun kalah dengan suara penerjemah yang lebih dekat dengan Abdi dan Dalem.

            "Sistem Ekonomi yang diberlakukan di seluruh dunia sebelum..."

            "Came into bein or was formally established when the second world war was coming to an end in the Bretten Woods Conference," Abdi berkonsentrasi untuk hanya mendengar sang penerjemah saja mulai sekarang, Dalem sepertinya masih susah menyesuaikan diri untuk fokus pada satu suara saja.

            "Muncul atau secara resmi dibentuk ketika perang dunia kedua akan berakhir pada peristiwa konferensi Bretten Woods," sang penerjemah melanjutkan tugasnya.

            "Saya akan menceritakan secara singkat garis besarnya saja dikarenakan waktu yang terbatas."

            "Sebuah sistem keuangan muncul menggantikan emas sebagai mata uang global dengan mata uang bernama US Dolar. Mata uang ini disepakati untuk dapat digunakan secara internasional pada waktu itu."

            "US Dolar pada awalnya dapat ditukar dengan emas dengan nilai tukar tiga puluh lima dolar per ounce."

            "Dengan aturan hanya pemerintah sebuah negara yang dapat menukarkan emas mereka dengan dolar, dan dolar pada waktu itu dijadikan mata uang resmi transaksi perdagangan antar negara."

            "Tidak ada mata uang lain di dunia pada waktu itu yang dapat ditukar dengan emas, hanya US Dolar saja dan semua mata uang di dunia baru memiliki nilai jika dihubungkan dengan US Dolar sebagai pembandingnya."

            "Sistem keuangan ini terus menipu dunia hingga seseorang bernama Jendral Charles de Gaulle menentangnya. Ia berinisiatif untuk menukarkan kembali seluruh US Dolar yang dimiliki negaranya dengan emas dan hal ini diikuti oleh beberapa negara lain."

            "Sehingga mengurangi stok emas dan pengaruh US Dolar terhadap perekonomian dunia. Hal ini membuat Negara Amerika pada 1971 menghentikan secara sepihak konvertibiltas dolar ke emas dan sebaliknya."

            "Pada 1971 hingga 1973 terjadi kegentingan terhadap US Dolar sebagai mata uang yang berhasil menipu seluruh dunia saat itu, mengakibatkan kerapuhan sistem ekonomi yang dibangun dengan pondasi riba."

            "Kemudian pada tahun 1973 mereka yang berusaha menguasai dunia dengan cara yang jahat itu membuat sebuah perang antara Arab dengan Israel dimana mereka mengambil peran di kedua belah pihak."

            "Perang tersebut berhasil memunculkan sistem ekonomi baru yang diistilahkan dengan Petro Dolar dimana minyak bumi menggantikan peran emas."

            "Negara Amerika melakukan sebuah perjanjian dengan Arab Saudi setelah perang tersebut dimana isinya menyebutkan bahwa minyak bumi hanya dapat dibeli dengan US Dolar. Meskipun sebuah negara memiliki emas yang banyak, negara tersebut tidak dapat membeli minyak jika tidak menggunakan US Dolar."

            "Hal ini membuat negara-negara di dunia kembali menukarkan emasnya untuk mendapatkan minyak bumi."

            "Pada saat emas dijadikan patokan oleh US Dolar, mungkin masih bisa dilihat dan dibandingkan dengan perhitungan antara cadangan emas yang ada dan mata uang yang beredar, sehingga membuat negara-negara yang jeli bisa melihat apakah Negara Amerika sebagai pemilik US Dolar mencetak mata uangnya sesuai dengan cadangan emas yang ada."

            "Namun setelah dihentikannya konvertibilitas US Dolar terhadap emas dan disyaratkannya pembelian minyak hanya dengan US Dolar, Negara Amerika dapat mencetak uang sebanyak-banyaknya dan menjadikan negaranya dapat berperang dengan dana tanpa batas."

            "Mereka bahkan melangkah lebih jauh lagi,"

"Untuk mencetak uang kertas memerlukan bahan dan peralatan yang menghabiskan biaya produksi sehingga diperkenalkanlah uang yang tak bisa disentuh, yang dinamakan dengan uang digital atau uang elektronik."

            "Jika diistilahkan mereka bisa membuat uang dari udara, menurunkan uang dari langit, bahkan lebih cepat dari itu."

            Sejenak hening, semua yang hadir menyimak apa yang dikatakan oleh Sheikh Nazar Imran. Ceramah pertama benar-benar mengingatkan mereka kembali akan sistem ekonomi ribawi yang pernah menguasai dunia.

            "Segolongan manusia telah berhasil dengan cara sangat luar biasa membuat sistem ekonomi yang dipatuhi dan ditaati di seluruh dunia, dimana sistem ekonomi itu membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin akan terus berjuang seumur hidup mereka."

            Abdi bergeser sedikit, Dalem sepertinya ingin berjalan ke arah luar barisan. Tak mendengar kata-kata Dalem, Abdi tetap fokus ke penerjemah dan pena di atas buku kecilnya.

            "Lalu bagaimanakah di zaman Rasulullah SAW? Mata uang seperti apa yang dipakai dan digunakan oleh beliau dan umat muslim saat itu?"

            "Kata 'emas' telah disebutkan di dalam Al Quran sebanyak sepuluh kali begitupun kata 'perak' telah disebutkan sebanyak tujuh kali di dalamnya."

            "Dinar dan Dirham juga disebutkan di dalam Al Quran. Itulah dua mata uang yang diakui dalam Al Quran, terbuat dari emas dan perak."

            "Nabi Muhammad SAW menjelaskan lebih jauh dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan. Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba."

            "Apabila di dalam suatu wilayah tidak ditemukan cukup emas dan perak untuk memenuhi kebutuhan transaksi jual beli maka dapat digunakan alat penggantinya sesuai dengan sunah yakni bahan makanan yang melimpah dan tahan lama."

            "Gandum, tepung, kurma, dan garam memiliki persamaan dengan apa yang dimiliki oleh emas dan perak, yakni nilai intrinsiknya berada pada dirinya sendiri."

            "Nilai emas dan perak berada di dalam mata uang itu sendiri, tidak bergantung kepada kejadian politik, perubahan sosial, bencana alam, perubahan pasar, dan sebagainya, yang secara logika terjadi di luar."

            "Harus diingat di sini bahwa tidak bisa menggunakan hewan sebagai uang."

            "Misalkan saja seseorang dari kalian menerima gajinya yang dibayarkan per bulan dalam bentuk kambing satu ekor. Kalian bawa pulang 'gaji' kalian dan tiba-tiba ia mati di jalan, apa yang bisa kalian lakukan?"

            "Banyak faktor yang harus diperhatikan pada hewan seperti kesehatannya, bentuk fisik, ukuran dan beratnya. Sehingga hampir tidak mungkin untuk menukar hewan yang serupa. Berbeda dengan gandum, tepung, kurma, dan garam yang hanya memiliki perbedaan yang relatif sedikit. Meskipun tentunya, keempat benda yang saya sebutkan tadi biasanya hanya digunakan dalam level mikro."

            "Uang berfungsi sebagai media perantara untuk melakukan jual beli, ukuran nilai suatu barang atau jasa, dan juga untuk menyimpan sebuah nilai yang stabil."

            "Sesuai dengan hadis riwayat Bukhari, Ali bin Abdullah menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, Syahib bin Gharqadah menceritakan kepada kami, ia berkata: saya mendengar penduduk bercerita tentang 'Urwah, bahwa Nabi S.A.W memberikan uang satu Dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau; lalu dengan uang tersebut ia membeli dua ekor kambing, kemudian ia jual satu ekor dengan harga satu Dinar. Ia pulang membawa satu Dinar dan satu ekor kambing. Nabi S.A.W. mendoakannya dengan keberkahan dalam jual belinya. Seandainya 'Urwah membeli debupun, ia pasti beruntung."

            "Ingatlah saudara-saudaraku, hanya Allahlah yang menentukan rizki. Lihatlah sekarang berapa harga kambing jika dibeli dengan dinar!?"

            Abdi tak dapat menahan komentarnya dan menyikut ke sisi kiri sambil berkata pelan, "sama Lem harganya! Masih ingat kan kita bayar satu dinar ke Pak Affar! Eh..." di sebelah kiri Dalem sudah tak terlihat. Ia pun melihat ke sekitar, namun tidak ada tanda-tanda bahwa Dalem berpindah tempat duduk. Sedikit khawatir, Abdi teringat tadi di tengah-tengah kesibukannya mencatat sepertinya Dalem mengucapkan sesuatu.

            "Kamar kecil..." ujarnya mengingat-ingat kata-kata Dalem tadi. Ia tak tahan ingin memastikan keberadaan Dalem dan mengecek sejenak keluar ruangan. Dimasukkannya segera buku dan pena ke dalam tas kecil.

            Abdi menoleh ke arah belakang dan kanan jauh. Ia melangkah menuju belakang sebelum berbelok ke ujung kanan. Suara penerjemah perlahan hilang dari tangkapan Abdi dan berganti suara penceramah.

            "In the past The State University of New York in place called Binghamton is famous for scholars who distinguished themself in the study of the free and the fair market. And they have come to conclusion that the last free and fair market that the world ever experienced was the market of Ottoman Islamic Empire..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun