Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 15, Nusa) - Raden Eru

27 Maret 2024   14:05 Diperbarui: 27 Maret 2024   14:16 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: editan penulis sendiri dari bahan di freepik.com

            Angin terasa begitu sepoi sore ini, matahari tak lagi panas seperti siangnya. Suasana begitu khusyuk di lapangan pasir yang luas, pelabuhan Nusa. Shaft sholat yang panjangnya hampir setengah kilometer terlihat begitu rapih dan solid. Tidak semua jamaah di dalamnya adalah para prajurit Mataram-Parahiyangan, yang memang tampak sangat mencolok karena jumlahnya paling banyak. Jika dilihat dari atas, selain warna merah dan biru yang mendominasi, terdapat pula warna kuning yang sedikit mengelompok di sisi timur sebelah belakang, hijau di shaft bagian selatan, sisanya hitam dan putih bercampur diantara semua warna, termasuk di shaft terdepan. Para pedagang, petugas pelabuhan, dan awak kapal lain yang berada di pelabuhan ternyata juga turut serta mengerjakan sholat Ashar berjamaah. Layaknya satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan, jamaah kaum muslimin ini menguatkan semua kawan yang memandang dan menggetarkan siapa saja yang menjadi musuh.

            "Wah.. luar biasa ya.. banyak sekali jamaahnya..." ucap Abdi setelah melihat ke kiri, kanan, dan belakang.

            "Hehe, Alhamdulillah, ini baru tujuh belas kapal lho.. belum lima puluh..." ucap salah seorang prajurit parahiyangan di sebelah kanan.

            "Hush! Selesaikan dulu dzikir kalian, malah ngobrol..." prajurit di sebelah kiri mengingatkan.

            "Paling cuma sekitar enam ribu orang," tambahnya.

            Abdi hanya menelan ludah, jumlah yang cukup banyak, apalagi hampir semuanya adalah prajurit yang memiliki kemampuan berperang.

            "Biasanya begini kok di setiap pelabuhan yang kita kunjungi. Sesekali, kalau tidak ya di tenda masing-masing atau antri di masjid dan mushola..."

            "Ah, itu Raden Eru.. hush, sudah! Jangan ngobrol dulu!"

            Abdi melongok ke arah shaft terdepan, tempat yang seharusnya diisi oleh Imam. Namun, tampak dari matanya Imam masih berada di sana, yang berdiri adalah makmum yang tepat berada di belakang. Tubuh pria itu tidak begitu tinggi dan tidak pula pendek, dahinya lebar dan kulitnya terlihat cerah. Ia tidak mengenakan tutup kepala seperti Imam, namun terlihat seluruh prajurit Mataram-Parahiyangan mengenalnya, begitu pula Abdi. Pakaian pria itu sederhana, hanya mengenakan batik bermotif khusus kraton dan celana panjang kain. Satu tangannya memegang alat mirip terompah mini, namun sepertinya dengan kegunaan untuk memperkeras suara. Tatapannya tajam melihat seluruh prajurit yang menghadiri Sholat Ashar berjamaah. Keheningan pun otomatis menyelimuti seluruh lapangan, semua mata tertuju padanya, bahkan angin pun terdengar sangat lirih berhembus ketia ia mulai berbicara.

            "A'dzu billhi minas-syaitnir-rajm. Bismillahhirrahmanirrahim..." Ia memulainya dengan pelan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun