Di antara kita, pasti ada orang yang merasa cukup hanya dengan kehadiran orang tua atau pasangan kita. Ada pula yang merasa dicintai saat disentuh, dipeluk, ataupun ditemani. Tapi, ada pula yang butuh kata-kata. Bukan “kata-kata hari ini” seperti yang sering viral yang dibuat dramatis atau sekadar gaya-gayaan. Kata-kata di sini adalah bentuk ekspresi cinta yang benar-benar berarti. Inilah yang dikenal sebagai words of affirmation, bahasa cinta yang bagi sebagian orang menjadi sumber kehangatan dan rasa aman.
Saya tahu itu karena saya pernah mengalaminya sendiri. Dullu, saya pernah menjadi anak yang diam-diam menunggu satu kalimat: “Papa bangga denganmu.” Ini bukan karena saya haus pujian. Namun, di tengah dunia pendidikan yang melelahkan, satu kalimat itu dapat menjadi jangkar dalam hidup saya. Kalimat tersebut dapat menjadi tenaga baru. Kalimat tersebut dapat menjadi alasan bagi saya untuk melanjutkan perjuangan dalam bidang pendidikan. Saat saya tidak mendengar kalimat itu, rasanya seperti berjalan jauh tanpa peta. Tetap bisa melangkah, tapi kehilangan arah. Dan saya yakin, saya bukanlah satu-satunya. Ada banyak orang yang diam-diam menanti satu kalimat yang dapat meneguhkan langkah mereka.
Gary Chapman, dalam bukunya The Five Love Language, menjelaskan bahwa setiap orang memiliki cara utama untuk memberi dan menerima cinta. Bagi yang memiliki words of affirmation sebagai bahasanya, pujian yang tulus, ucapan apresiasi, bahkan afirmasi sederhana bisa membangun fondasi emosional yang kuat. Mereka tumbuh ketika dihargai dengan kata-kata dan dapat runtuh saat kritik tajam menjadi nada sehari-hari. Bagi sebagian orang mungkin words of affirmation ini adalah hal yang sepele. Bagi “si words of affirmation”, cinta bukan hanya tentang kehadiran, tapi keyakinan yang diteguhkan dalam kalimat. Bagi kelompok ini, cinta itu terdengar.
Karena memang begitulah adanya. Bukan berarti “Si words of affirmation” ini menolak aksi nyata. Tapi bagi mereka, tindakan tanpa kata dapat terasa hampa. Karena cinta, kalau tidak diucapkan, kadang jadi samar. Terlebih saat hari-hari berlalu penuh dengan tekanan. Kita semua butuh diingatkan bahwa kita cukup. Bahwa kita terlihat. Bahwa usaha kita tidaklah sia-sia.
Masalahnya, tidak semua orang tumbuh dalam budaya yang ekspresif. Ada yang sejak kecil diajarkan bahwa cinta itu ditunjukkan, bukan diucapkan. Jadilah banyak orang dewasa yang bingung: kenapa pasangannya butuh kata-kata terus? Kenapa temannya butuh validasi? Kenapa anaknya itu baru tenang setelah mendengar “Mama bangga denganmu”—seperti saya. Mungkin, bagi “Si words of affirmation” ini mencintai itu lewat pujian yang tulus. Lewat “terima kasih, ya, sudah nemenin aku hari ini.” Lewat “aku yakin kok kamu bisa ujian tadi.” Bukan lewat drama, bukan pula lewat rayuan. Tapi lewat kejujuran yang tulus dan hangat.
Bagi orang yang bahasa cintanya words of affirmation pun bukan berarti menunjukkan bahwa mereka ingin diperlakukan seperti anak kecil yang perlu dipuji terus-menerus. Namun, satu kalimat afirmatif dari orang yang disayang dapat menjadi ruang aman. Dapat menjadi pengingat bahwa mereka selalu ditemani dan didampingi. Dalam self-affirmation theory, David Sherman menjelaskan bahwa kata-kata positif tentang diri sendiri ataupun dari orang lain dapat memperkuat identitas dan menyeimbangkan tekanan psikologis. Hal ini berarti bahwa kalimat “kamu itu mampu,” atau “aku percaya kamu,” tidak hanya menenangkan, tapi juga dapat terbukti, secara ilmiah, mendukung kesehatan mental orang yang mendengarnya. Kata-kata tersebut memiliki kekuatan untuk membentuk narasi diri. karena saat narasi itu diterima dengan tulus, kita perlahan memercayai bahwa diri ini memang layak, cukup, dan mampu.
Sayangnya, tidak semua orang menyadari pentingnya words of affirmation ini. Kita terbiasa berbicara dalam konteks fungsional percakapan sehari-hari: bertanya, menjawab, menyampaikan kebutuhan atau pandangan. Tapi, kita jarang benar-benar mengatakan apa yang dirasakan. Apalagi dalam hubungan yang sudah lama berjalan—baik pertemanan, perkawinan, bahkan hubungan orang tua–anak. Kata-kata afirmatif semakin jarang keluar dan disampaikan. Kita mungkin berpikir “ah, dia sudah tahu.” Ya, mungkin pasangan kita atau orang tua kita sudah tahu. Tapi, mungkin juga mereka belum tahu. Dan ketika itu terjadi, orang yang paling kita cintai dapat terasa seperti orang asing—bukan karena tidak merasa dicintai, tapi karena lupa mengatakan: “aku bersyukur kamu ada.”
Kita juga sering meremehkan efek dari kata-kata negatif. Bagi “si words of affirmation” kata-kata menyakitkan dapat membekas lebih dalam dibandingkan tindakan. Satu komentar tajam dapat menghancurkan kepercayaan diri yang dibangun bertahun-tahun. Satu kalimat sarkastik dapat mematikan harapan yang sudah susah payah dijaga. Bagi mereka, kata-kata bukan cuma sekadar alat berkomunikasi, tapi ia juga tempat berteduh atau sumber luka.
Begitu pula sebaliknya: satu kalimat baik, di waktu yang tepat, dapat menyembuhkan. Kata-kata tersebut dapat membuka pintu dialog yang lama tertutup. Kata-kata yang dapat mencairkan kekakuan dalam relasi. Dan ini tidak membutuhkan keterampilan luar biasa. Cukup butuh keberanian untuk jujur dan kepekaan untuk hadir.