Pisang goreng. Sebuah hal kecil yang tetap bertahan di dunia yang terus berubah. Sebuah cemilan yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Sebuah kudapan yang tidak memandang lapisan ekonomi dan tidak dibatasi waktu. Cemilan sederhana ini memang tidak masuk daftar superfood atau kuliner inovatif, tapi ia selalu punya tempat di hati—dan kadang, di meja tamu saat obrolan penting terjadi.
Di sebuah pertemuan keluarga yang canggung, sepiring pisang goreng dan teh manis hangat lazim disediakan. Namun, yang menarik, di tengah suasana yang awalnya masih ‘dingin’ perlahan mencair, tangan mulai bergerak, obrolan pun mengalir. Seringkali kadang kita tidak butuh topik baru, kita hanya butuh titik temu yang familiar. Dalam dunia komunikasi, momen seperti ini disebut sebagai low-context bridge—penghubung yang tidak butuh kata-kata rumit, cukup rasa yang mengundang respons emosional bersama. Dalam konteks ini, pisang goreng, secara tidak langsung, berperan sebagai titik netral yang bisa dirayakan semua orang. Tidak ada yang merasa terasing.
Lebih lanjut, terdapat dua karakter utama dalam dunia pisang goreng: pisang goreng kriuk dan pisang goreng klasik. Pisang goreng kriuk adalah ekstrovert yang penuh kejutan. Ia adalah pecinta keadilan terstruktur. Sisi luar dihiasi dengan kerenyahan, tapi sisi dalam berselimutkan kelembutan—seperti seseorang yang berhati tegas tapi tetap penyayang. Memasak pisang goreng kriuk pun butuh seni. Butuh adonan yang tepat, komposisi tepung yang pas, air yang tidak terlalu banyak, minyak dalam suhu panas yang tepat, dan yang paling penting—niat! Karena niat yang setengah-setengah, hasilnya menjadi letoy. Juga niat berlebihan yang tidak terjaga, malah jadi gosong. Dalam dunia yang sering bikin lelah, terkadang yang kita butuhkan adalah “krenyes” yang pas dari gigitan sederhana yang memberikan kehangatan dan menyatukan.
Tapi, tidak semua orang mencari kejutan. Ada pula yang mendambakan keakraban dan ketenangan dari yang telah dikenal sejak lama. Ini seperti pisang goreng klasik. Sebuah “legenda” sejati. Ia tidak pernah pamit dalam cerita kehidupan manusia Indonesia, meski tren dunia silih berganti. Tanpa tepung tebal, tanpa topping viral, tanpa cocolan saus yang fancy. Cukup pisang matang, sedikit minyak, dan sentuhan tangan penuh kesungguhan dalam memasaknya. Pisang goreng klasik pun tidak butuh banyak hiasan karena yang penting baginya adalah rasa dan kenangan. Ia hadir dalam kejujuran. Pisang goreng ini pun cukup hadir dalam keheningan sejenak bagi kita. Dalam hidup yang senantiasa riuh dan melelahkan, kita dapat belajar dari pisang goreng klasik. Kembali ke yang sederhana. Kembali ke keikhlasan yang diam-diam memelukmu.
Namun demikian, hidup ini tidak akan terasa lengkap dengan plot twist. Dalam konteks ini, kita pun tidak boleh mengabaikan keberadaan “alternatif” dari pisang goreng: pisang rebus. Pisang rebus adalah satu “tokoh” underrated. Ia bukan “selebritas” layaknya pisang goreng kriuk, pun bukan juga “tokoh” utama dalam keramaian seperti pisang goreng klasik. Meskipun underrated, pisang rebus memiliki kekuatan tersendiri: diam-diam menyehatkan, tenang tapi mengenyangkan, tidak heboh tapi penuh kesabaran. Jika pisang goreng diibaratkan sebagai sahabat yang dapat diajak bercanda, pisang rebus merupakan personifikasi orang tua yang tidak banyak bicara. Ia tidak menyaingi siapapun. Ia hadir dengan rendah hati untuk mengingatkan kita bahwa yang menyehatkan belum tentu yang paling riuh.
Namun, terlepas dari perbedaan karakter tersebut, pisang—baik digoreng maupun direbuS—memiliki satu kesamaan: ia menjadi penghubung. Bukan sekadar camilan, tetapi medium yang membawa rasa, cerita, dan keakraban ke meja pertemuan. Serupa dengan coffee diplomacy, pisang goreng pun memiliki konsep diplomasi rasa dalam versinya sendiri. Pisang goreng dapat menjadi “bahasa tengah” dalam pertemuan, negosiasi kecil, atau bahkan dalam permintaan maaf. Menyuguhkan pisang goreng pun adalah tindakan rendah hati. Kita cukup menjadi hangat di saat yang tepat dan orang-orang akan selalu mengingat hal itu. Dalam konteks Indonesia, pisang goreng pun membantu menyampaikan “Mari kita duduk bersama. Masalah yang ada tidak harus selesai saat ini, tapi biarlah waktu ini menjadi ruang untuk saling mendengar, untuk saling memahami.”
Pisang goreng telah menjadi juru bicara yang tidak pernah berbicara. Tapi, ia selalu berhasil mendekatkan manusia. Mungkin orang tidak selalu ingat apa yang kita katakan, tapi mereka akan ingat bagaimana kita membuat mereka hadir, membuat mereka merasa—dan pisang goreng selalu tahu caranya. Pisang goreng ini menyerupai kehadiran seseorang yang membawa kehangatan tanpa dominasi—yang seringkali dikenal sebagai supportive presence. Keberadaan orang ini tidak mendesak percakapan, tapi menumbuhkan kenyamanan. Pisang goreng, dalam segala bentuk dan nuansanya, bisa menjadi itu.
Pada akhirnya, pisang goreng akan selalu menyesuaikan diri di tengah dunia yang terus berubah. Pisang goreng pun mengajarkan satu hal: bahwa hal-hal paling sederhana seringkali yang paling mengena.
Jadi, kamu tim mana, pisang goreng kriuk atau pisang goreng klasik?
References:
- William Gudykunst, 2004, Bridging DIfferences: Effective Intergroup Communication, SAGE Publicaitions Inc.
- Brant R. Burleson, 2003, The Experience and Effects of Emotional Support: What the Study of Culture and Gender Differences Can Tell Us About Close Relationships, Emotion, and Interpersonal Communication, Personal Relationship, 10(1), 2003, 1—23.