Apakah ada di antara kita yang tidak senang ngobrol? Dalam obrolan tersebut, apakah kita lebih banyak berbicara atau mendengar? Apakah saat mendengar tersebut, kita benar-benar paham apa yang disampaikan, paham apa yang dibutuhkan oleh lawan bicara kita? Saya, secara pribadi, menyadari bahwa dalam percakapan sehari-hari, saya merasa sudah mendengar, tapi jarang benar-benar memahami. Semakin saya sadari bahwa dalam banyak situasi, yang dibutuhkan bukanlah jawaban, bukan pula solusi praktis, melainkan kehadiran yang utuh—yang diam, tapi mendengarkan. Yang tidak buru-buru memberikan solusi. Yang tidak buru-buru menghakimi. Tetapi memberi ruang untuk merasa dan memahami.
Di era yang serba cepat ini, mendengar menjadi keterampilan yang semakin langka. Saat orang lain sedang berbicara, kita mungkin justru sibuk menyiapkan respons alih-alih membuka hati untuk menerima makna. Akibatnya, komunikasi dan percakapan pun tak ubahnya menjadi lomba silang pendapat, bukan jembatan untuk saling “bertemu”. Padahal, dalam percakapan yang utuh, tujuan kita bukan untuk menang, tapi untuk saling menemukan.
Mendengar tidak cukup hanya dengan fungsi telinga. Ia membutuhkan hati yang tenang dan pikiran yang hadir sepenuhnya. Mendengar sejatinya justru seringkali dimulai dari diam—diam yang tidak pasif, tapi aktif menyimak, memberi tempat bagi cerita yang hendak keluar dari jiwa yang lelah atau hati yang penuh luka. Sebab dalam diam yang penuh perhatian, kadang seseorang merasa paling didengar.
Kita mungkin pernah mendengar konsep active listening atau mendengar aktif. Konsep ini menekankan pentingnya respons non-verbal, seperti anggukan, kontak mata, dan kesediaan untuk tidak menyela. Ini bukan hanya teknik komunikasi, tetapi juga bentuk penghargaan atas keberadaan orang lain. Dengan mendengar secara aktif, kita tidak sekadar hadir secara fisik, tapi juga mengakui bahwa cerita orang lain layak untuk didengarkan sepenuhnya.
Namun, mendengar saja tidak cukup. Memahami adalah langkah selanjutnya dan barangkali lebih sulit. Memahami adalah usaha untuk menelusuri konteks di balik kalimat. Ini bukan tentang setuju atau tidak setuju, tetapi tentang mencoba melihat dari kacamata orang lain. Seperti kata Carl Rogers, seorang psikolog klinis dan konselor ternama di Amerika Serikat, “being emphatic is seeing the world through the eyes of the other, not seeing your world reflected in their eyes.” Atau dapat diartikan sebagai bersikap empati berarti berarti melihat dunia melalui mata orang lain, bukan melihat duniamu sendiri yang tercermin dalam mata mereka. Hal ini dapat dimaknai bahwa empati adalah usaha sungguh-sunguh untuk memahami dunia sebagaimana orang itu melihat dan memahaminya, dengan latar belakang, nilai, dan perasaannya sendiri—bukan dengan standar atau asumsi kita. Kita mungkin tidak pernah sepenuhnya tahu perasaan orang lain, tapi kita bisa mencoba hadir dalam ruang emosi mereka. Dan seringkali, hal itu lebih berarti daripada seribu nasihat.
Ironisnya, kita saat ini hidup di era yang ramai—semua orang ingin bicara, tapi hanya sedikit yang bersedia mendengar. Di media sosial, opini berseliweran, debat tidak kunjung usai, dan, sialnya, kabar bohong menjadi arus tercepat yang sering kita terima. Pertanyaannya sekarang benarkah kita saling memhami? Atau jangan-jangan, kita hanya menunggu giliran untuk bicara, tanpa benar-benar mendengarkan? Dalam konteks ini, mendengar dan memahami menjadi bentuk perlawanan terhadap budaya gegabah. Ia adalah cara untuk memperlambat, merefleksi, dan memperkuat empati di tengah banjir informasi.
Dalam relasi—baik dengan keluarga, pasangan, maupun pertemanan—mendengar adalah bentuk perhatian paling tulus. Saat seseorang bercerita tentang kekhawatirannya, yang mereka butuhkan bukanlah koreksi, melainkan validasi. Saat mereka menyuarakan kekecewaan, yang mereka cari bukan pembelaan, tapi pengakuan. Validasi akan kekhawatiran yang sedang dirasakan. Pengakuan atas suara kekecewaan yang dihadapi. Brene Brown, dalam risetnya tentang kerentanan, menjelaskan bahwa koneksi sejati hanya bisa tumbuh jika seseorang merasa dilihat, didengar, dan dipahami. Hal ini berarti bahwa hubungan yang sehat bukan dibangun oleh kepintaran bicara, tetapi oleh kemampuan mendengar dan menampung emosi orang lain.
Dalam mendengar, kita juga perlu melatih kesadaran untuk menunda respons. Saat seseorang bicara, kita perlu bertanya pada diri: “apakah aku sedang benar-benar mendengar atau hanya menunggu giliran berbicara?” Cobalah jeda. Tahan dorongan untuk memberikan nasihat dan izinkan ruang hening yang menyembuhkan. Sebab seringkali yang paling dibutuhkan bukan jawaban cepat, melainkan kehadiran yang utuh dan sabar.
Mendengar pun dapat dipandang selayaknya ibadah. Ia memerlukan ketundukan ego. Memahami pun dapat mengambil bentuk keadilan. Diperlukan kerendahan hati untuk mengakui bahwa hidup orang lain berbeda dari kita. Karena di balik tiap cerita, ada dunia yang tidak bisa kita nilai sebelum kita benar-benar berusaha mengerti.
Pada akhirnya, mendengar dan memahami bukanlah sekadar aktivitas pasif. Mereka adalah rangkaian tindakan aktif dalam membangun ruang aman. Ruang dimana seseorang bisa menjadi dirinya tanpa takut disalahpahami. Ruang yang mengakui bahwa setiap orang punya kisah yang layak untuk didengar—tanpa disela, tanpa dibenarkan, tanpa dibantah.