Pendidikan karakter bukanlah istilah baru di Indonesia. Ia kerap muncul dalam pidato pejabat, tercantum dalam dokumen kebijakan, dan sering jadi bahan diskusi guru. Namun, seberapa sering kita berhenti sejenak untuk bertanya: karakter seperti apa yang sebenarnya ingin kita tanamkan? Apakah sistem pendidikan kita benar-benar memberi ruang untuk pertumbuhan karakter tersebut?
Saya teringat betul saat SD sampai dengan SMA dituntut untuk menghafal rumus, menjawab soal ujian nasional, mengejar peringkat, dan lulus dengan nilai tinggi—seolah-olah nilai adalah cermin mutlak kualitas manusia. Setelah lulus, saya baru menyadari bahwa ada sisi yang belum “tuntas” diajarkan dalam ruang sekolah: belajar tentang karakter. Karakter seperti berintegritas, berempati, dan tanggung jawab sosial dalam konteks kehidupan sekolah.
Pernah dalam satu kesempatan, seorang teman SMP—sebut saja Daru—tanpa sengaja menumpahkan air ke meja guru saat Ia menjalankan giliran piket kebersihan di kelas kami. Saat itu, guru kami belum datang. Saat air tersebut tumpah, suasana menjadi mencekam, semua siswa diam, sebagian mulai menyalahkan, bahkan tertawa mengejek. Guru kami—terkenal dengan ketegasannya—masuk beberapa menit kemudian, melihat meja basah, dan seketika pula, memanggil Daru ke depan. Kawan saya ini langsung mengaku bahwa Ia yang menumpahkan air tersebut karena kecerobohannya.
Semua rekan mengira Daru akan dimarahi. Alih-alih membentaknya, guru kami ini lantas berkata, “terima kasih Daru sudah jujur. Mari sini kain lapnya. Saya bantu kalian.” Lalu, beliau membersihkan mejanya sendiri, sambil menambahkan, “Kalian harus belajar dari Daru: berani bertanggung jawab atas kesalahannya.”
Momen itu seingat saya hanya berlangsung lima sampai enam menit. Namun, kenangannya masih terekam hingga hari ini. Bukan karena pelajarannya, tapi karena nilai yang muncul lewat tindakan Daru maupun tanggapan dari guru kami. Guru kami tersebut tidak hanya sedang mengajar karakter, tapi juga menjadi teladan itu sendiri.
John Dewey, filsuf pendidikan dari Amerika, pernah berkata bahwa pendidikan sejati bukanlah hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi tentang membentuk kebiasaan berpikir reflektif dan tindakan etis dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter, dalam konteks ini, adalah tentang bagaimana sekolah dan keluarga membentuk kebiasaan baik secara konsisten dan berkesinambungan. Pendidikan karakter pun bukanlah modul instan yang dapat diunduh dari internet dan dibacakan seperti buku resep. Pendidikan karakter lebih dapat dipandang sebagai proses pengasuhan kolektif dengan orang tua, guru, dan masyarakat menjadi contoh hidup nyata bagi anak-anak.
Ironisnya, dalam praktik keseharian, keteladanan yang ideal tersebut kerap menjadi lubang besar dalam sistem pendidikan karakter kita. Guru berceramah soal kejujuran, tapi manipulasi dan ketidakterbukaan penilaian dianggap lumrah. Orang tua mengajak anak berdoa untuk berjuang maksimal saat ujian, tetapi memarahi guru—dan juga anak—saat nilai rapot tidak sesuai harapan mereka. Pejabat bicara moral, tetapi terjerat korupsi. Dalam ketimpangan kenyataan ini, anak-anak Indonesia belajar bahwa karakter bisa dinegosiasikan.
Di sinilah pentingnya membumikan pendidikan karakter ke dalam konteks budaya Indonesia. Kita bukan masyarakat yang asing dengan nilai-nilai luhur: gotong royong, tenggang rasa, sopan santun, hormat kepada orang tua, hingga semangat kekeluargaan. Namun, nilai-nilai ini sering tidak dirawat dalam kurikulum yang terlalu menekankan kognisi dan lupa pada afeksi. Maka, jika kita ingin pendidikan karakter ini benar-benar tumbuh di Indonesia, Ia harus berakar pada nilai-nilai luhur bangsa—bukan sekadar dihafal, tapi dihayati dalam keseharian. Di tengah era yang kian digital, cepat, dan kompetitif, justru nilai-nilai luhur tersebut menjadi kompas yang makin kita butuhkan. Tanpa karakter, kecerdasan hanya akan meninggalkan kecanggihan tanpa nurani.
Kurikulum Merdeka, yang beberapa tahun ke belakang diterapkan, membawa semangat perubahan dengan memasukkan proyek penguatan profil pelajar Pancasila sebagai bagian dari pembelajaran. Melalui kurikulum ini, ada upaya menanamkan nilai-nilai, seperti mandiri, bernalar kritis, bergotong royong, dan berkebinekaan global. Akan tetapi, perubahan di atas tidak otomatis terjadi di lapangan. Butuh komitmen, pelatihan guru yang memadai, serta ruang otonomi yang nyata bagi sekolah untuk merancang pendekatan yang kontekstual.