Mari kita buka tulisan ini dengan sebuah pengalaman yang mungkin tidak asing dalam sebuah keluarga muda: seorang ayah muda duduk di sudut sofa, headset terpasang, fokus penuh pada layar. Di sebelahnya, ada anak yang memandang lirih ayahnya. Ia berharap ayahnya mengajaknya bermain. Di dapur, sang ibu sibuk mempersiapkan sarapan pagi, bahkan belum sempat mencuci tumpukan piring dan peralatan makan. Mungkin pemandangan ini tidaklah asing. Namun, ilustrasi ini memunculkan pertanyaan: Apakah sang ayah---juga seorang suami---tersebut bermain gim sebagai bentuk pelarian ataukah dapat dipandang sebagai bentuk penyelamatan dirinya?
Menjadi kepala keluarga di era modern sekarang ini seringkali terasa seperti memikul beban ganda: tanggung jawab finansial, emosional, sekaligus sosial. Harapan masyarakat terhadap seorang suami atau ayah tidak lagi sebatas pencari nafkah, tetapi juga sebagai partner suportif, emotional co-regulator, dan peran pengasuhan langsung. Dalam tekanan peran yang terus berkembang tersebut, setiap individu---termasuk para ayah muda---mencari cara untuk tetap utuh dan warass di tengah tuntutan. Salah satu cara yang kerap dipilih, meski sering disalahpahami, adalah bermain gim.
Gim video---baik di ponsel maupun konsol---muncul sebagai saluran pelarian sementara. Bukan untuk kabur dari tanggung jawab, melainkan untuk mengisi ulang tenaga mental. Michael J. Apter, seorang psikolog, menyebut fenomena ini sebagai "paratelic state"---kondisi ketika seseorang melakukan aktivitas rekreatif demi mendapatkan kesenangan semata, bukan hasil. Bermain gim dapat menjadi semacam jeda untuk memberi 'ruang bernafas', bukan bentuk pelarian dari realitas, melainkan cara sederhana untuk terhubung kembali dengan dirinya sendiri.
Penelitian oleh Granic et al (2014) juga menemukan bahwa bermain gim bisa membantu regulasi emosi, memperbaiki suasana hati, dan meningkatkan kemampuan problem solving. Di kalangan laki-laki muda yang menjadi ayah di usia produkti (20-35 tahun), aktivitas bermain gim tidak selalu identik dnegan kebocoran tanggung jawaba, melainkan bisa menjadi bagian dari strategi menjaga mental hygiene. Apakah pandangan ini berlebihan? Bisa iya, bisa juga tidak. Layaknya seperti minum kopi, tidur siang, ataupun doomscrolling TikTok, Instagram dan sebagainya, tergantung konteksnya yang menentukan apakah itu menjadi pelarian atau terapi.
Sampai titik tulisan ini, pertanyaan besar muncul "masa sudah jadi suami masih main game?" atau versi lainnya "anaknya lagi sakit kok malah asyik nge-push rank?"
Penting juga untuk membedakan antara self-care dan selfish. Suami yang masih meluangkan bermain gim dalam periode singkat---30 s.d. 60 menit---setelah seharian bekerja, membantu istri, ataupun menyelesaikan tugas domestik, bukanlah "tidak dewasa". Hal ini bisa jadi bentuk me-time yang seharusnya diterima. Justru, penyangkalan atas kebutuhan personal lelaki untuk bersantai adalah jebakan toksik yang dapat berujung pada burn-out bahkan ledakan emosi yang tidak terkendali. Studi yang dilakukan oleh Seidler et al. (2016) menunjukkan bahwa pria sering kali menunda ekspresi kelelahan dan stres karena tuntutan maskulinitas konvensional---harus kuat, harus tahan, harus "selesai semua."
Ketika gim menjadi kambing hitm dalam pertengkaran rumah tangga, kita perlu bertanya lebih dalam: benarkah masalahnya hanya soal waktu bermain? Apakah ada ketimpangan beban kerja domestik dan komunikasi emosional yang belum sehat? Arlie Hochschild dalam karyanya The Second Shift (1989) menjelaskan banyak perempuan bekerja di ranah publik namun tetap memikul beban kerja domestik lebih banyak dibandingkan pasangan prianya. Dalam konteks ini, gim bukanlah akar masalah, melainkan pemantik. Hal ini berarti, jika suami merasa berhak atas "jam main" tanpa mendengar kebutuhan istri akan "jam istirahat" ataupun "jam ngobrol", maka yang salah bukanlah aktivitas mainnya---melainkan ego sang suami yang mengabaikan dinamika relasi.
Pembenaran yang sehat atas hobi bermain gim dapat dicapai lewat komunikasi terbuka dan kesepakatan bersama. Seorang ayah muda bisa menetapkan waktu main tertentu---misalkan setelah anak tidur, maksimal 1 jam---dan menyepakati sistem gilir tanggung jawab dan juga terbuka untuk dikritik saat kebiasaan mainnya mulai mengganggu ritme rumah tangga. Dengan begitu, bermain gim bukan lagi menjadi sumber konflik, melainkan menjadi bagian dari ritme keluarga yang saling memahami dan menghargai ruang satu sama lain.
Lebih jauh, pasangan juga bisa menjadikan gim sebagai sarana bonding. Banyak pasangan  dapat menjadikan bermain bersama, baik lewat gim kooperatif ataupun sekadar menonton satu sama lain bermain sambil bercengkerama. Studi oleh Kowert dan Quandt (2016) dalam The Video Game Debate menegaskan bahwa gim bisa memperkuat hubungan sosial bila dijalani secara kolaboratif, bukan isolatif. Dengan pendekatan yang saling melibatkan, gim tidak lagi dipandang sebagai penghalang, melainkan sebagai jembatan kecil yang menghubungkan tawa, kerja sama, dan kedekatan dalam kehidupan sehari-hari pasangan muda.