Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Setelah 150 Tahun, Kita Kembali pada Kebijakan Kolonial 1870

8 Oktober 2020   21:09 Diperbarui: 12 April 2022   11:09 9386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun demikian, kesiapan Jawa untuk model ekonomi yang jauh dari feodalisme seperti ini sangat kurang. Oleh sebabnya, model tersebut diganti dengan pengumpulan pajak natura pada masa cultuurstelsel. 

Ketika sistem pajak ini berkelindan dengan sistem birokrasi dualistik (dengan memanfaatkan priayi [penguasa lokal Jawa] sebagai penguasa langsung yang diawasi dan menyetor pajak kepada pemerintah Eropa), pendapatan Hindia Belanda menjadi berlipat ganda.

Namun demikian, pada tahun 1850-an, sistem yang awalnya memikirkan pula sisi kemanusiaan dan peningkatan kesejahteraan penduduk tersebut berkembang menjadi sistem yang berada di luar kendali aturan kolonial. 

Pemerintah Eropa pada mulanya berpikir bahwa integrasi ekonomi desa-desa di Jawa kepada pasar global dapat meningkatkan standar hidup mereka. Namun, hal ini justru merusak sendi-sendi subsistensi khas Asia Tenggara yang selama ini menopang petani Jawa.

Perkebunan tebu yang mencaplok sawah petani tidak dapat menghasilkan makanan pokok bagi petani yang sebelumnya subsisten---yang mengandalkan lahan pertanian mereka untuk memperoleh kalori sehari-hari. 

Masalah peralihan lahan yang mengurangi produksi pangan ini diperparah dengan sikap korup priayi Jawa dan petugas kolonial yang akan mendapat keuntungan persenan dari cultuurprocenten atau bonus kelebihan---sebuah bonus yang didapatkan saat setoran hasil bumi wilayah mereka melebihi target pemerintah di Batavia.

Ketika gelombang reformasi liberal menyapa Belanda pada dekade 1850 itu, beberapa tokoh---umumnya dari pejabat gereja---memandang sistem eksploitasi tanah jajahan ini sebagai suatu hal yang tidak bermoral dan perlu mendapatkan perbaikan. 

Orang yang pertama kali menyerukan hal ini bukanlah Multatuli (nama pena Eduard Douwes Dekker), melainkan Wolter Robert van Hoevell (1812--1879), seorang anggota parlemen Belanda yang sempat berdemonstrasi di Batavia untuk menuntut perubahan sistem kolonial. 

Baca juga: Persepsi, Kolonialis dan Imperialis, Dijajah Inggris Lebih Baik Ketimbang Belanda?

Di dalam pidato parlemennya pada 8 Desember 1851, ia mengungkapkan bahwa, "[...] pemerintah dan rakyat jajahan akan menikmati keuntungan bukan dengan eksploitasi seperti ini [cultuurstelsel], melainkan dengan meletakkan peningkatan ekonomi dan pendidikan rakyat sebagai tujuan utama [...]". 

Suara seperti ini menguat setelah diterbitkannya novel Max Havelaar karangan Eduard Douwes Dekker (1880--1887) yang mencerminkan pengalamannya semasa tugas di Lebak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun