Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Indonesia, Hindia Belanda, dan Keterlambatan Pembuatan Kebijakan

24 Juni 2020   16:19 Diperbarui: 19 Februari 2022   06:46 4225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Leden van de Volksraad te Batavia (Para Anggota Volksraad di Batavia) | Koleksi KITLV, sekitar 1935

Kebijakan Lord Minto di India kemudian membawa pedesaan India terintegrasi perlahan-lahan dengan ekonomi global dan menghubungkan mereka dengan koloni Inggris yang lain.

Pengaruh dari monetisasi dan integrasi pada ekonomi global membuat golongan bumiputra di India mulai menambahkan teh, gula, dan kopi dalam kebutuhan sehari-hari mereka yang sebelumnya tidak melibatkan komoditas semacam itu (Owen, et. al. 2005: 222). Integrasi dan monetisasi semacam ini sama sekali belum tampak di Jawa yang dipimpin Daendels. 

Kepulauan Indonesia baru memasuki masa monetisasi ketika Thomas Stamford Raffles (1781--1826; menjabat Letnan Gubernur Hindia Belanda-Inggris, 1811--16) menggantikan Jan Willem Janssens (1762--1838; menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda-Prancis, 1811) setelah Inggris berhasil menginvasi Jawa. 

Masa pemerintahan Raffles---yang dalam historiografi dan pengajaran sejarah di Indonesia masa kini selalu dielu-elukan---memperkenalkan kebijakan baru pajak tanah melalui sistem sewa berbayar uang, di samping melakukan perampokan kebudayaan hebat kepada keraton-keraton Jawa tengah-selatan. 

Kebijakan baru ini datang berdasarkan percakapan Raffles dengan Lord Minto di Kolkata pada tahun 1811 (Bastin 1954). Lord Minto menyatakan bahwa perkenalan sistem baru tersebut sukses di wilayah Bengal, India.

Melalui kebijakan ini, Kepulauan Indonesia mengejar ketertinggalannya dari kawasan Asia yang sudah bergerak ke arah monetisasi terlebih dahulu. Integrasi pada ekonomi global baru dicapai ketika kepulauan ini kembali ke pangkuan Belanda, tepatnya di bawah kebijakan cultuurstelsel (yang dikenal sebagai Tanam Paksa) pada tahun 1830. 

Dalam artikel saya baru-baru ini, saya telah menyajikan efek samping dari integrasi ekonomi tersebut. Namun, kedua kebijakan tersebut---monetisasi dan integrasi ekonomi---jelas diperkenalkan terlambat di Kepulauan Indonesia dibandingkan di tempat lain di Asia. Ini adalah keterlambatan kebijakan pertama yang saya temukan pada masa hidup pemerintah kolonial. 

Namun, keterlambatan ini sangat dipengaruhi oleh perubahan politik dan kekuasaan di Eropa yang pada akhirnya juga mengacaukan pembuatan kebijakan kolonial di Asia. Wilayah Asia yang dapat menjalankan pembuatan kebijakan dengan stabil hanya wilayah protektorat Inggris yang tidak terganggu konflik berkat lindungan angkatan laut yang kuat.

Keterlambatan pembuatan kebijakan selanjutnya terjadi di masa akhir kolonial Belanda. Memasuki abad ke-20, beberapa kekuatan kolonial di Asia telah mampu membaca bahwa masa depan kawasan ini tidak akan selamanya berada dalam naungan kolonialisme. Hal itu ditunjukkan oleh golongan bumiputra kepada penguasa kolonial dengan membentuk gerakan nasionalis yang sejalan maupun tidak sejalan dengan kemauan pemerintah kolonial.

Inggris dan Amerika Serikat (AS) menyadari adanya perubahan ini dan segera membuat perubahan yang diperlukan untuk perlahan-lahan melakukan dekolonisasi. Pada awal dekade 1910, wakil pemerintah AS di Filipina meningkatkan persentase perwakilan bumiputra di parlemen Filipina dari 71 persen ke 96 persen. Gubernur AS secara de facto tidak turut campur dalam pembuatan kebijakan dan peraturan di dalam parlemen. 

Pada kasus Inggris, Birma (kini Myanmar) telah menunjukkan keinginannya untuk menjadi lebih berdaulat setelah protes-protes mahasiswa yang terjadi hingga 1935. Sejak 1935 hingga 1942, Inggris memberikan rakyat bumiputra hak pilih dan melaksanakan lima kali pemilihan umum. Gubernur Inggris memilih untuk tidak turut campur dalam pembuatan peraturan sekalipun ia masih memiliki kekuasaan---hal ini dilakukan untuk memberikan pesan bahwa Inggris mendukung Birma yang lebih independen.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun