Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kedudukan Terhormat Transgender dan Identitas Feminin di Nusantara

4 Mei 2020   23:20 Diperbarui: 5 Mei 2020   18:34 1346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eerste bedrijf uit een Kuda Kepang spel met een tijger en dansers op stokpaarden tijdens een volksfeest te Ponorogo (Koleksi Tropenmuseum)

Bahkan, mereka dapat naik ke panggung-panggung pertunjukan. Saya menduga bahwa kelompok men-men (pengamen atau kelompok pertunjukan) yang eksis di Srivijaya juga sesungguhnya memiliki aspek transgender ini karena mereka tidak mungkin menampilkan perempuan di atas panggung. 

Dengan demikian, pasti ada laki-laki yang mengambil peran sebagai perempuan dalam pertunjukannya. Dalam beberapa seri esai pada majalah humaniora Hindia Belanda, Pigeaud juga membahas seni-seni yang memiliki aspek identitas transgender lainnya di Jawa. Ia telah membahas mengenai delapan seni lain yang menyangkut identitas tersebut. 

Dengan demikian, Reog bukanlah suatu fenomena yang eksklusif dan dikecualikan. Hingga pada titik ini, "kebudayaan timur" yang selalu kita elu-elukan hari ini telah memberikan tempat yang istimewa kepada transgender dan identitas feminin yang dipeluknya. Terkadang, banyak orang yang memandang sejarah dengan idealisme dan realitas masa kini. 

Hal ini pada akhirnya membuat sejarah disalahpahami. Banyak orang mengira bahwa sejarah Nusantara tidak memberikan tempat pada identitas transgender. 

Bila kita mereferensikan kepada sejarah Nusantara, saya belum menemukan adanya aksi diskriminasi terhadap salah satu identitas gender sebelum masa modern. Dengan demikian, akar budaya kita tampaknya memang tidak demikian diskriminatif.

Sepanjang sejarah, identitas transgender dihormati sedikitnya karena dua alasan, yaitu bahwa mereka membawa penghiburan (melalui pertunjukan seni) dan mereka memeluk identitas feminin yang memang dianggap terhormat. 

Seiring perkembangan zaman, tampaknya susah untuk menempatkan kembali penghormatan yang tinggi tersebut karena adanya pergeseran peran transgender. Namun demikian, setidaknya kita harus menempatkan penghormatan itu pada posisi netral dengan melarang diri kita melakukan diskriminasi. 

Seperti semua identitas diri yang lain, transgender merupakan hasil dari dinamika kebudayaan selama berabad-abad atau bahkan lebih. Sama seperti kita tidak membungkam dan menghukum identitas kita, kita juga (bercermin dari sejarah) tidak seharusnya membungkam dan menghukum identitas transgender. 

Pada kasus yang demikian ini, humaniora harus menunjukkan kekuatannya untuk memediasi, memberikan diskursus yang netral, dan mencegah timbulnya stigma. 

Dengan tulisan ini dan tulisan lain yang saya yakin telah ada, Ferdian Paleka seharusnya telah dihukum sejarah karena nama dan tindakan tidak beradabnya akan tercatat hingga tahun-tahun kemudian kepada generasi-generasi yang kemudian.

Daftar Sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun