Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sunda Empire adalah Konsekuensi Terpinggirnya Otoritas Sejarawan

22 Januari 2020   19:17 Diperbarui: 22 Januari 2020   21:32 3683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petinggi Sunda Empire, KI Raden Rangga Sasana (Sumber gambar: Youtube/Java Timeline via Tribunnews.com)

Dengan demikian, apa yang disampaikan para tetua sesungguhnya adalah informasi yang sangat berharga, namun bukan sejarah. Ketika seseorang menerima informasi ini sebagai sejarah, pengetahuannya akan bersilang ruwet dan jelas bersifat membingungkan.

Sejarawan akademik menjadi cukup bersalah dalam kasus kemunculan kerajaan fiktif karena meletakkan diri jauh dari publik. Masyarakat umum cenderung lebih mengenal budayawan dibandingkan ahli-ahli sejarah.

Padahal, budayawan juga tidak memiliki otoritas akademik untuk membicarakan masalah sejarah. Keterpinggiran otoritas sejarawan menyebabkan masyarakat juga menjadi sangat jauh dari pengetahuan sejarah yang tepat.

Dalam kasus di Belanda, sejarawan menempati posisi yang penting dan dekat dengan masyarakat melalui skema sejarawan kota. Ketika terdapat kebingungan atau penemuan informasi baru yang dianggap berkaitan dengan sejarah, masyarakat dapat mengunjungi sejarawan kota untuk menanyakannya.

Selain itu, setiap kota dengan universitas juga menyediakan pusat sejarah yang menjadi rujukan bagi segala permasalahan yang berkaitan dengan sejarah.

Kecenderungan untuk berkonsultasi kepada sejarawan ini sangat minim di Indonesia. Saya tidak berotoritas untuk menjawab apakah hal ini disebabkan oleh kedudukan sejarawan yang mengeksklusifkan dirinya atau oleh masyarakat yang memang tidak menganggap penting profesi sejarawan.

Di samping itu, para penerbit buku juga memiliki porsi kesalahan yang tidak kalah sedikit. Beberapa karya tulis atau buku yang beredar dan dipercaya masyarakat sebagai sejarah sesungguhnya sangat minim penelitian dan memiliki rujukan yang serba kacau.

Namun nyatanya, karya-karya ini lulus editorial penerbit dan hadir di tengah masyarakat. Karya-karya tersebut pada akhirnya menciptakan inspirasi yang bila bukan menyesatkan berarti mengacaukan inspirasi sejarah yang tepat dan logis.

Masyarakat tentu akan banyak tertarik pada model-model konspirasi dan tulisan kontroversial. Namun demikian, dengan absennya sejarawan dan membanjirnya karya tulis konspirasi semacam ini, pengetahuan masyarakat terhadap sejarah akan mengalami distorsi dan kekacauan yang hebat.

Salah satu hasil yang paling tampak dari kekacauan inspirasi sejarah tersebut adalah munculnya banyak kerajaan fiktif yang tidak saja sekadar muncul, namun dapat menjaring anggota dan pengikut yang banyak jumlahnya.

Sekali lagi, saya mengajukan pertanyaan kepada pemerintah, masyarakat, dan semua kalangan yang berkepentingan, akankah kita terus abai terhadap sejarah dan profesi sejarawan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun