Amandemen UU Kehutanan dalam UU Cipta Kerja sebagai Fast Track Legalisasi Kejahatan
Alih-alih memperbaiki kerangka hukum kehutanan yang sudah "compang-camping" , UU Cipta Kerja justru memperburuknya dengan mengubah, menghapus, dan menambahkan setidaknya 20 pasal di UU Kehutanan dan 18 pasal di UU Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan (P3H). Salah satu perubahan yang paling krusial adalah dihapusnya ketentuan yang mengharuskan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk izin pinjam pakai kawasan hutan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Â
Perubahan ini secara efektif menghilangkan mekanisme kontrol legislatif dan partisipasi publik dalam penentuan wilayah pertambangan dan perkebunan di kawasan hutan. Tindakan ini berpotensi mempermudah korporasi dalam mendapatkan izin di kawasan hutan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan potensi konflik fisik dengan masyarakat lokal, seperti yang terjadi dalam kasus antara masyarakat Kampar Kiri Hulu dengan PT Buana Tambang Jaya di Kabupaten Kampar. Â
Analisis Kritis Pasal 110A dan 110B: Mekanisme Legalisasi Ilegalitas
Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja dinilai sebagai mekanisme yang melegalkan kejahatan korporasi. Pasal ini memberikan kesempatan kepada perusahaan yang telah beroperasi secara ilegal di kawasan hutan untuk "memutihkan" statusnya. Alih-alih dikenakan sanksi pidana, para pelaku hanya dikenakan denda administratif dan diberikan waktu dua tahun untuk menyelesaikan perizinan. Di Riau saja, pasal ini berpotensi melegalkan kejahatan yang dilakukan oleh 375 perusahaan sawit ilegal, yang sebelumnya beroperasi tanpa izin. Â
Paradigma pidana yang dianut oleh UU Kehutanan dan UU Cipta Kerja dinilai gagal. Kedua undang-undang tersebut tidak memiliki model pertanggungjawaban pidana korporasi yang efektif, terutama dalam hal ganti rugi kepada korban. Sanksi pidana yang ada seringkali tidak memberikan efek jera, dan UU Cipta Kerja secara terang-terangan membebaskan pelaku dari sanksi pidana dengan menyediakan jalur administratif. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan di mana lemahnya penegakan hukum memicu praktik ilegal, yang kemudian dilegalkan oleh undang-undang, sehingga tidak ada efek jera dan kejahatan terus berulang. Â
Menuju Kerangka Hukum Baru
Agenda Keadilan Ekologis dan Agrari  Mengapa Revisi Parsial Tidak Cukup Analisis komprehensif dari bab-bab sebelumnya menunjukkan bahwa masalah dengan UU Kehutanan bukan terletak pada satu atau dua pasal, melainkan pada filosofi, paradigma, dan konsekuensi sistemiknya. UU ini dinilai cacat secara fundamental. Ia melanggengkan paradigma kolonial domein verklaring yang bertentangan dengan amanat konstitusi, secara fungsional gagal dalam menciptakan keadilan agraria dan perlindungan ekologis, serta diperburuk oleh amandemen melalui UU Cipta Kerja yang melegitimasi kejahatan korporasi. Revisi yang berulang, hingga setidaknya delapan kali , telah menjadikan undang-undang ini "compang-camping" dan kehilangan koherensi. Berdasarkan temuan ini, merevisi undang-undang secara parsial adalah tindakan yang inefektif. Satu-satunya solusi yang dapat mengatasi masalah-masalah mendasar ini adalah dengan mencabutnya secara total dan menggantinya dengan kerangka hukum baru yang berlandaskan pada prinsip yang benar. Â
Prinsip-Prinsip Hukum Baru yang Diperlukan
Pihak akademisi dan masyarakat sipil telah merekomendasikan sebuah kerangka hukum kehutanan baru yang berlandaskan pada prinsip-prinsip yang berbeda secara radikal dari kerangka yang ada. Prinsip-prinsip ini mencakup: Â
* Keadilan Sosial dan Ekologis: Hutan harus dipandang sebagai sistem penyangga kehidupan, bukan sekadar objek produksi. Pengelolaan hutan harus mengedepankan keberlanjutan dan keadilan, di mana manfaat ekonomi tidak mengorbankan fungsi ekologis dan hak-hak masyarakat.Â
* Pengakuan Hak Masyarakat Adat: Mengakui masyarakat sebagai pilar utama pengelolaan hutan. Undang-undang baru harus secara eksplisit mengakui dan melindungi kedaulatan masyarakat adat atas wilayahnya, memandang mereka sebagai penjaga utama ekosistem dengan pengetahuan dan praktik hidup yang selaras dengan alam. Â
* Partisipasi Publik yang Bermakna: Proses hukum harus transparan dan inklusif. Regulasi baru harus disusun dengan partisipasi publik yang bermakna, tidak hanya oleh pemerintah dan perwakilan legislatif.
* Pembaruan Paradigma: Menggantikan pendekatan timber-based management (pengelolaan berbasis kayu) dengan pendekatan yang holistik, yang mengakui fungsi multidimensi hutan (ekologi, sosial, budaya, ekonomi).
Peran RUU Masyarakat Hukum Adat sebagai Solusi Pelengkap
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) menjadi prasyarat krusial untuk melengkapi kerangka hukum kehutanan yang baru. RUU ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum yang kuat terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah, sumber daya, dan budaya mereka. Dengan memberikan kepastian hukum dan peradilan adat , RUU MHA akan menjadi alat yang efektif untuk menyelesaikan konflik tenurial yang disebabkan oleh UU Kehutanan. Â
RUU ini akan memfasilitasi pemetaan wilayah adat secara partisipatif, yang merupakan langkah kunci untuk mengatasi tumpang tindih lahan. Pengesahan RUU MHA, seperti yang didorong oleh akademisi dan aktivis, tidak hanya akan mengisi kekosongan hukum, tetapi juga menjadi fondasi untuk membangun hubungan yang lebih adil dan setara antara negara, korporasi, dan masyarakat adat. Â
Kesimpulan dan Rekomendasi: Mengakhiri Era Kebijakan Hukum yang Gagal
Ringkasan Temuan Kunci
Berdasarkan analisis yang mendalam, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah produk hukum yang cacat secara fundamental.
* Secara filosofis, undang-undang ini melanggengkan paradigma kolonial domein verklaring yang bertentangan dengan amanat konstitusional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sehingga memicu konflik agraria dan kriminalisasi.
* Secara fungsional, ia telah gagal dalam menciptakan keadilan agraria dan melindungi fungsi ekologis hutan. Hal ini dibuktikan dengan data konflik tenurial yang meluas dan tren deforestasi yang terus meningkat.
* Secara teknis-hukum, revisi yang dilakukan oleh UU Cipta Kerja tidak memperbaiki masalah, melainkan menciptakan celah legal yang melegitimasi kejahatan korporasi dan melemahkan pengawasan, sehingga menghapus efek jera.
Rekomendasi Strategis Terperinci
Menghadapi kompleksitas masalah yang berakar pada kerangka hukum yang rusak, berikut adalah rekomendasi strategis yang diajukan:
1. Pencabutan UU No. 41 Tahun 1999: Mencabut undang-undang ini secara total. Revisi parsial terbukti tidak efektif dan justru memperparah masalah.
2. Pengesahan RUU MHA: Memprioritaskan pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat untuk menyediakan payung hukum yang kuat dan substantif bagi pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat.
3. Penyusunan UU Kehutanan Baru yang Berkeadilan: Merumuskan undang-undang kehutanan yang baru dan holistik, didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan agraria-ekologis. UU baru ini harus:
* Mengakui kedaulatan masyarakat adat atas wilayah adatnya sebagai penjaga hutan.
* Menempatkan perlindungan ekosistem sebagai prioritas utama di atas kepentingan investasi.
* Memperkuat fungsi pengawasan dan penegakan hukum yang efektif dan tidak diskriminatif terhadap korporasi.
* Menciptakan mekanisme penyelesaian konflik tenurial yang partisipatif dan berpihak pada keadilan bagi korban.
Epilog: Momentum Pembaharuan Hukum
Pencabutan UU Kehutanan bukan sekadar langkah administratif, melainkan sebuah deklarasi politik untuk mengakhiri warisan kolonial yang memisahkan rakyat dari sumber daya alamnya. Ini adalah momentum untuk mewujudkan cita-cita reformasi yang sesungguhnya: membangun sebuah kerangka hukum yang memastikan hutan lestari dan rakyat sejahtera. Â