Sejak harta pusaka suku dipindahkan ke rumah adat ini kampung kami menjadi mencekam. Banyak orang mengincar harta itu. Sudah seminggu kampung kami dimata -- matai orang asing. Karena itu kepala suku memerintahkan setiap laki -- laki dewasa bergiliran menjaga harta pusaka setiap malam, termasuk aku dan Tua Hale.
        Malam ini adalah giliran jaga kami berdua. Suasananya berbeda dari malam -- malam biasanya. Mendung menyelimuti malam. Tak ada cahaya bulan, apalagi kerlap gemintang di langit. Nyanyi jangkrik terdengar  cepat dan tergesa - gesa. Katak -- katak pun hanya melompat tak berani bersuara.
        Aku mencium aroma bahaya. Bulu badanku merinding.
        "Tak ada apa -- apa." Batinku menghibur.
        Di sampingku Tua Hale tertidur lelap. Tak ada beban sama sekali. Dia seharusnya lebih awas dan tanggap terhadap kemungkinan bahaya yang mengancam.
        "Krekk!" Terdengar suara ranting patah seperti terinjak seseorang. Mataku makin awas mencari dan menelisik asal suara itu.
         "Siapa di situ?"
Namun suaraku terbuang percuma, tak ada balasan. Degup jantungku makin cepat.
        "Tua Hale, cepat bangun. Sepertinya ada orang yang sementara mengintai kita."
        Tua Hale bangun dengan terburu -- buru. Tak ada waktu baginya menggosok mata. Ia langsung mengambil kelewangnya.
        "Di mana dia?" Tanyanya dengan suara yang agak keras.
        "Stttttt! Jangan keras -- keras. Sepertinya ada orang yang mengawasi kita dari balik pohon -- pohon kemiri itu." Jawabku sambil menunjuk ke arah pohon -- pohon kemiri yang besar -- besar di samping rumah adat.
        "Matikan obor!" Perintah Tua Hale. Aku segera mematikan obor lalu menyusul Tua Hale yang lebih dahulu bersembunyi di semak -- semak sembari mengintai.
        Kurang lebih tiga puluh menit bersembunyi dan melihat tidak ada pergerakan yang mencurigakan, aku dan Tua Hale memutuskan keluar dari persembunyian dan kembali menyalakan obor. Tiba -- tiba sebuah anak panah bersarang di punggung Tua Hale. Orang tua itu jatuh tersungkur di hadapanku.
        Aku dengan sigap berlari ke arah kentungan yang digantung di tiang bagian luar rumah adat. Kupukul dengan keras supaya semua orang kampung terjaga. Namun sebuah anak panah menghantam lenganku. Kentungan itu terlempar dari tanganku sebelum warga kampung menyadari ada perampok. Aku tak bisa berbuat banyak selain bersembunyi di dalam semak - semak. Anak panah masih bersarang di lenganku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI