Mohon tunggu...
REDEMPTUS UKAT
REDEMPTUS UKAT Mohon Tunggu... Lainnya - Relawan Literasi

Lakukanlah segala pekerjaanmu di dalam kasih (1kor. 16:14)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Masih Mencintaimu Bapak

20 Februari 2021   23:03 Diperbarui: 20 Februari 2021   23:21 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa ini membuatku menyesal. Nafsu dan kenikmatan sesaat telah mencuri mereka dariku. Kini aku hilang dan tenggelam dalam lautan kelam. Mereka semakin jauh, jauh, dari pandangan mataku. Satu yang tak bisa kupungkiri adalah aku mencintai mereka semua, terutama ayahku. Tetapi aku harus pergi, mencari duniaku sendiri. Iya, aku ingin mencari mutiara dengan tangan dan keringatku supaya kelak kubisa tunjukkan pada semua orang bahwa aku mampu untuk melakukan sesuatu yang baik.

Bapak, Kau tahu aku sangat mencintaimu.

Dari dulu sejak pertama aku bisa merasa, rasa yang pertama aku rasakan adalah mencintaimu.

Sampai detik ini, ketika bapak membaca surat ini aku pun masih mencintaimu. 

Sampai suatu saat bapak menemukan aku entah aku hidup atau mungkin sudah mati aku tetap mencintaimu, Bapak.  

            Bapak, aku pergi. 

            Doaku bersama Kalian.

 

                                                                                                                        Rini

***

Terminal Naresa, Pukul 11.00.

Di terminal sepi ini, aku duduk menanti bus Sinar Gemilang ditemani lalu lalang beberapa mikrolet. Aku mencoba melupakan segala persoalan dan menjemput masa depan baru di Kupang. Di rumah, masa depanku telah musnah dihancurkan pria brengsek yang menghamili aku. Mau tidak mau aku harus pergi. Apalagi semalam ayah marah besar. Ia menamparku tanpa peduli aku sakit atau tidak. Ia cuma ingat harga dirinya.

"Rini, kau coreng muka bapakmu. Mau taruh di mana muka ini. Apa kata orang tentang bapak. Pasti mereka bilang bapakmu tak becus mengurusmu. Padahal kau tahu sendiri bagaimana bapak memenuhi segala kebutuhanmu". Kata ayah semalam dengan nada tinggi, mata melotot tajam ke arahku sambil menunjuk -- nunjuk wajahnya sendiri.

"Besok, Kau bawa laki -- laki kurang ajar itu ke sini. Biar bapak ajar dia bagaimana jadi laki -- laki yang baik. Kalau sampai laki -- laki itu tidak muncul di sini, lebih baik kau angkat kaki dari rumah". Aku tidak mungkin membawa pria itu ke rumah. Dia sudah melarikan diri ke Bali setelah mengetahui aku hamil.

"Coba kau lihat, Vanny anaknya Pak Frans. Dia dilamar baik -- baik pakai acara adat, dia dihargai dengan belis[2] dan mereka nikah suci. Padahal kelakuan ayahnya itu tidak becus, sering mabuk -- mabukan. Tukang judi. Kau bikin malu bapakmu". Sebuah tamparan pun mendarat. Aku tak sanggup mengingat. Sangat sakit. Jiwaku ikut terguncang. 

"Kau perempuan besar di rumah ini. Harusnya kau tunjukkan teladan yang baik untuk adik -- adikmu. Kau juga masih sekolah, baru kelas dua SMA. Apa yang bisa kau kerjakan di luar sana dengan ijasah SMP-mu. Pelayan toko?, Pembantu rumah tangga? Atau kau mau melacur, hah?" Kata -- kata ayah ini merobek hatiku.

Tanpa sadar air mata mengalir membasahi pipi. Beberapa ibu yang duduk di sampingku melihatku dengan tanda tanya. Tapi tidak ada yang berani bertanya. Mungkin mereka merasa bahwa bukan urusan mereka. Ah, di kota sekecil ini, rasa empati kepada sesama apakah telah hilang. Aku jadi heran. Bukan aku butuh perhatian. Tapi apakah mereka tidak punya hati?

***

Bus Sinar Gemilang, Pukul 11.30 WITA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun