Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri Institute
Rokhmin Dahuri Institute Mohon Tunggu... Dosen - Rokhmin Dahuri

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI); Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat; Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany; Honorary Ambassador of Jeju Islands Province and Busan Metropolitan City, Republic of Korea to Indonesia; dan Menteri Kelautan dan Perikanan – RI (2001 – 2004).

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menguak Potensi Marikultur Nasional

26 Februari 2018   12:33 Diperbarui: 26 Februari 2018   13:00 2011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: www.trobos.com

MARIKULTUR ---- Lima pekerjaan rumah utama yang belum kunjung terselesaikan dalam mewujudkan cita-cita luhur Kemerdekaan NKRI adalah pengangguran, kemiskinan, kesenjangan antara kelompok penduduk kaya vs miskin yang sangat lebar, disparitas pembangunan antar wilayah (Jawa vs Luar Jawa, dan kota vs desa) yang sangat njomplang, dan rendahnya daya saing bangsa. Pasalnya, bagaiamana pun baiknya  kinerja makroekonomi seperti tingginya pertumbuhan ekonomi, rendahnya inflasi, dan relatif kecilnya rasio utang terhadap PDB tidak akan ada artinya.

Jika kita kelola dengan menggunakan inovasi IPTEK mutakhir, manajemen profesional, dan akhlak mulia, sejatinya kelima permasalahan utama bangsa di atas sebagian besar bisa diselesaikan melalui pembangunan ekonomi kelautan yang meliputi sebelas sektor: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan dan seafood, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) ESDM, (6) pariwisata bahari, (7) kehutanan pesisir (coastal forestry), (8) transportasi/perhubungan laut, (9) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) sumber daya kelautan non-konvensional. 

Total nilai ekonomi sebelas sektor kelautan itu diperkirakan mencapai 1,33 trilyun dolar AS per tahun atau 1,4 kali lipat PDB 2016 atau 7 kali lipat APBN 2016.  Lapangan kerja yang bisa dibangkitkan dari sebelas sektor kelautan itu mencapai 45 juta orang atau 35,2 % total angkatan kerja.  Dari total potensi nilai ekonomi kelautan sebesar 1,33 trilyun dolar AS/tahun itu, potensi ekonomi sektor perikanan budidaya sekitar 200 milyar dolar AS/tahun (15%). Sedangkan, potensi ekonomi sektor perikanan tangkap hanya sekitar 15 milyar dolar AS/tahun (1,1%). Sektor perikanan budidaya mencakup: (1) perikanan budidaya di laut (mariculture), (2) perikanan budidaya di perairan payau/tambak (coastal aquaculture), dan (3) perikanan budidaya di perairan tawar atau darat seperti di danau, waduk, sungai, kolam, sawah (minapadi), akuarium, dan wadah lainnya. 

Prospek dan Tantangan Marikultur

Apabila dikelola secara professional, menggunakan sains dan teknologi serta manajemen yang inovatif, inklusif, dan ramah lingkungan; sub-sektor marikultur bukan hanya bakal berkontribusi secara signifikan bagi kemajuan perekonomian nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarkat, tetapi juga bisa menjadi salah satu sektor unggulan (leading sector) yang dapat menghela Indonesia menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat.  Sebab, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang tiga perempat wilayahnya berupa laut, Indonesia memiliki potensi produksi marikultur terbesar di dunia, sekitar 60 juta ton/tahun.

 Usaha marikultur bukan hanya menghasilkan sumber pangan protein berupa berbagai jenis ikan, kekerangan (moluska), dan crustacean (udang, lobster, kepiting, rajungan, dan lainnya). Tetapi juga sumber bahan baku bagi industri farmasi, kosmetik, perhiasan (seperti kerang mutiara), cat, film, biofuel, dan ratusan jenis industri lainnya, yang berasal dari micro algae, macro algae, avertebrata, dan biota (organisme) laut lainnya.


Bahkan, dalam dekade terakhir Tiongkok sudah berhasil membudidayakan padi di perairan laut pesisir. Dengan perkataan lain, ke depan usaha marikultur juga bisa menghasilkan sumber pangan karbohidrat. Sementara itu, permintaan (demand) manusia, baik di Indonesia maupun pada tataran global, terhadap ikan, seafood, dan produk-produk marikultur lain seperti tersebut akan terus meningkat, seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk dunia.

Tidak hanya memiliki prospek cerah saja, namun sektor marikultur juga memiliki tantangan dan permasalahan yang penghambat kinerja pembangunan sub-sektor marikultur.

Pertama, adalah bahwa sub-sektor marikultur belum secara resmi  dianggap sebagai salah satu sektor pengguna ruang pembangunan dalam sistem RTRW nasional. Akibatnya, ketika terjadi konflik penggunaan ruang wilayah pesisir dan lautan dengan sektor-sektor pembangunan lainnya (seperti industri, pertanian, pemukiman, perkotaan, pariwisata, dan pertambangan), sektor marikultur pada umumnya yang terkalahkan. Dengan kata lain, kepastian dan keberlanjutan berusaha marikultur menjadi sangat riskan.

Kedua, sebagian besar (lebih dari 65%) usaha marikultur sampai sekarang masih bersifat tradisional. Dalam pengertian, usahanya masih mengandalkan benih atau bibit dari alam, tidak memenuhi skala ekonomi  sehingga keuntungannya kecil (tidak mensejahterakan pelaku usaha), tidak menggunakan teknologi budidaya mutakhir, tidak menerapkan manajemen rantai pasok terpadu, dan tidak taat pada azas pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Ketiga, infrastruktur, aksesibilitas, dan konektivitas antara sentra kawasan marikultur dengan daerah konsumen (pasar) dalam negeri maupun pelabuhan ekspor kurang memadai.

Keempat, ketersediaan benih, bibit, peralatan dan mesin marikultur (termasuk  KJA berbahan HDPE), dan sarana produksi lainnya yang berkualitas tinggi dan harganya relatif murah masih kurang mencukupi.

Kelima, harga jual hasil panen usaha marikultur pada umumnya masih fluktuatif, dan posisi tawar pembudidaya marikultur lebih rendah dari pada pembeli (buyers).

Keenam, pencemaran perairan laut, baik akibat buangan limbah dari aktiitas manusia di daratan maupun di lautan.

Ketujuh, Perubahan Iklim Global beserta segenap dampak negatifnya, seperti pemasaman laut (ocean acidification), suhu laut yang semakin meningkat, dan anomali iklim.

Kedelapan, kebijakan KKP dalam tiga tahun terakhir kurang begitu kondusif bagi kemajuan marikultur.

Agenda Pembangunan

Supaya sub-sektor marikultur mampu membuka lapangan kerja yang luas, menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkualitas (inklusif), dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan (sustainable), kita mesti melaksanakan empat agenda pembangunan berikut.

Pertama, revitalisasi seluruh usaha marikultur yang ada (existing mariculture businesses). Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan produktivitas, efisieni, dan keberlanjutan (sustainability) dari seluruh bisnis marikultur yang ada. Sehingga, keuntungan usahanya dapat mensejahterakan pelaku usaha (termasuk karyawan) budidaya, yakni minimal 300 dolar AS (sekitar Rp 4 juta)/orang/bulan secara berkelanjutan. Angka ini dihitung berdasarkan pada garis kemiskinan Bank Dunia (2014). Yakni seseorang digolongkan sejahtera (tidak miskin), bila pengeluarannya lebih besar dari 2 dolar AS per hari. Mengingat bahwa ukuran rata-rata keluarga Indonesia di pedesaan adalah 5 orang (ayah, ibu, dan 3 anak) dan yang bekerja hanya ayah atau ibunya saja. 

Maka, pendapatan minimal sebuah keluarga sejahtera adalah 2 dolar AS/hari 30 hari/bulan 5 orang = 300 dolar AS/orang/bulan.Untuk dapat mencapai target tersebut, seluruh unit usaha marikultur harus memenuhi skala ekonomi (economy of scale), yakni ukuran unit usaha yang dapat menghasilkan pendapatan bagi pelaku usaha minimal Rp 4 juta/orang/bulan. Setiap unit usaha harus menggunakan teknologi mutakhir yang ramah lingkungan dan menerapkan Best Aquaculture Practices (BAP). 

BAP meliputi: (1) pemilihan lokasi usaha yang tepat, (2) penggunaan bibit atau benih unggul (bebas penyakit, tahan terhadap serangan penyakit, dan cepat tumbuh), (3) pemberian pakan berkualitas, (4) pengelolaan kualitas air, (5) tata letak, desain, dan konstruksi  media budidaya (cage nets, floating nets, line nets, sea ranching, dan lainnya) secara benar, (6) pengendalian hama dan penyakit, (7) biosecurity, dan (8) luas areal dan intensitas teknologi budidaya tidak melampaui daya dukung lingkungan wilayah setempat. 

Selain itu, kita harus menerapkan pendekatan sistem rantai suplai (hatchery dan pabrik pakan -- pembesaran -- industri pasca panen -- pasar) secara terintegrasi.  Pendekatan ini sangat penting untuk menjamin stabilitas harga jual produk akuakultur yang menguntungkan pembudidaya dan terjangkau oleh konsumen (sesuai nilai keekonomian), dan keberlanjutan usaha seluruh mata rantai sistem bisnis marikultur. 

Untuk menghindari ekses negatif dari usaha marikultur, kita harus memastikan, bahwa pakan tambahan (pelet) semaksimal mungkin dapat dikonsumsi oleh ikan atau organisme lainnya yang kita budidayakan, sehingga tidak menimbulkan limbah pakan yang acap kali mengakibatkan pencemaran perairan sekitarnya. Selain itu, kita harus hati-hati jangan sampai ikan atau organisme lain yang kita budidaya lepas ke perairan sekitarnya. Hal ini untuk menghindari dampak negatif dari invasi spesies asing yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem perairan setempat.

Kedua, berupa ekstensifikasi (perluasan) usaha marikultur di wilayah perairan laut baru yang cocok untuk usaha marikultur. Untuk meratakan pembangunan, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat, sebaiknya program ekstensifikasi ini diprioritaskan ke luar Jawa. Sangat baik, bila wilayah-wilayah perbatasan kita makmurkan dengan beragam usaha marikultur beserta segenap industri hulu dan hilir nya. Sehingga, bersama pengembangan sektor-sektor ekonomi lainnya (seperti perikanan tangkap, pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, industri industri pengolahan berbasis SDA, manufakturing, pertambangan dan energi, dan pariwisata), marikultur dapat membangun sabuk kemakmuran (prosperity belt) yang melingkari wilayah NKRI, dari Sabang hingga Merauke dan dari Miangas ke Rote. Prosperity belt ini diyakini juga akan membantu terbangunnya security belt (sabuk hankam) yang dapat memperkokoh kedaulatan wilayah NKRI.  

Ketiga, diversifikasi spesies atau komoditas budidaya. Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati perairan (aquatic biodiversity) tertinggi di dunia mestinya Indonesia sudah membudidayakan banyak biota perairan. Namun, hingga 2014 kita baru berhasil membudidayakan tidak lebih dari 25 spesies. Sementara, Tiongkok dengan potensi keanekaragaman hayati perairan jauh lebih rendah dari pada Indonesia telah mampu membudidayakan 125 spesies orgnisme perairan.Keempat, pembangunan industri hilir (processing and packaging) yang dapat memproses dan mengemas komoditas hasil marikultur menjadi beragam jenis produk hilir untuk memenuhi pasar domestik maupun ekspor yang terus berkembang.

Budidaya Offshore

Sebagai antisipasi dan untuk kepentingan jangka panjang, seruan Presiden Jokowi untuk mengembangkan usaha budidaya perikanan di laut lepas  di atas 12 mil dari garis pantai ke arah laut lepas sangat bagus. Akan tetapi, karena letaknya dan kondisi dinamika kelautan (oseanografis) yang lebih keras ketimbang usaha marikultur di peraian laut dangkal (coastal waters), maka biaya produksi, transportasi, logistik, dan pengamanan offshore aquaculture pasti lebih mahal dan memerlukan teknologi yang lebih canggih (sophisticated) ketimbang usaha marikultur di coastal waters.   

Oleh karena itu, pengembangan offshore aquaculture harus menggunakan pendekatan "a big-push development", yakni: (1) unit usahanya harus besar supaya memenuhi economy of scale (skala ekonomi) nya; (2) menggunakan teknologi mutakhir (state of the art technology); (3) menerapkan integrated supply chain management system (sistem manajemen rantai pasok terpadu) yang dapat memastikan stabilitas pasokan dan harga; (4) menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan; dan (5) pengamanan dari gelombang, cuaca buruk, bencana alam, pencurian, perampokan, dan bahaya lainnya. 

Kakap putih (barramundi) sebagai komoditas usaha offshore aquaculture adalah pilihan yang tepat, meskipun komoditas (spesies) lain yang nilai ekonominya lebih tinggi (seperti lobster dan cobia) bisa juga dikembangkan di wilayah perairan laut yang secara bio-ekologis cocok (suitable) untuk pertumbuhan spesies tersebut.Mengingat, sampai sekarang kita baru memanfaatkan perairan laut dangkal (coastal waters = perairan laut pesisir) untuk usaha marikultur kurang dari 5% total wilayah laut pesisir yang cocok untuk usaha marikultur. Maka, prioritas utama pengembangan marikultur dalam jangka pendek haruslah di wilayah perairan laut pesisir. Mulai 2018 ini sampai 2024, kita bisa mengembangkan unit usaha offshore aquaculture dengan pendekatan "big-push development" seperti diatas sebanyak di 30 lokasi (unit usaha).

Masing-masing 10 lokasi di Indonesia Bagian Barat, Bagian Tengah, dan Bagian Timur.Harus dicatat, bahwa pengembangan usaha offshore aquaculture harus menggunakan teknologi dan SDM dalam negeri (nasional). Jangan, seperti tahun lalu teknologinya dari asing (Norwegia). Sebab, kita bangsa Indonesia sudah mampu mengembangkan dan menggunakan teknologi offshore aquaculture. Boleh kerjasama dengan negara maju, asalkan dananya dari hibah (grant), bukan pinjaman (loan). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun