Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Money

Pajak Karbon, Inovasi Solusi Atasi Polusi

2 Juni 2019   09:21 Diperbarui: 2 Juni 2019   09:30 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian Pertama: Ortodoksi VS Realita Situasi 

Apa yang kita pikirkan ketika mendengar kata "polusi"? Masing-masing kita pasti memiliki pemikiran yang berbeda. Tetapi, satu kata pasti muncul di dalam otak kita; Masalah. Polusi adalah salah satu masalah lingkungan terbesar yang dihadapi peradaban modern. Ia merusak kualitas ekosistem bumi dan menurunkan kualitas hidup manusia. 

Sebenanrnya, apa itu polusi? Polusi adalah perubahan negatif dalam lingkungan hidup yang disebabkan oleh penambahan sesuatu yang beracun/berbahaya (Aquariumofpacific.org). 

Sesuatu yang beracun/berbahaya itu disebut sebagai polutan, dan terdiri dari berbagai elemen. Tetapi, ada satu konstituen paling berbahaya dari polutan tersebut. Apa itu? 

sumber: cellcode.us
sumber: cellcode.us

Karbon dioksida, itulah konstituen paling berbahaya tersebut. Gas ini terbentuk dari kombinasi karbon dan oksigen. Pembentukan ini bisa terjadi karena berbagai pemicu. Salah satunya adalah aktivitas manusia. Karbon dioksida yang terbentuk dari aktivitas manusia inilah yang disebut sebagai carbon footprint/jejak karbon. 

Jejak karbon itu sendiri terbentuk dari berbagai tahap aktivitas produksi suatu output (Wiedmann dan Minx, 2007:4). Pembentukan ini menghitung semua kegiatan produksi yang dilakukan individu, perusahaan, pemerintah, dan berbagai institusi lainnya. Maka dari itu, subjek penghasil karbon di sini adalah seluruh bagian dari value chain, baik langsung maupun tidak langsung. 

Siapa saja bagian dari value chain? Secara umum, bagian tersebut adalah produsen, distributor, dan konsumen. Ketika produsen menambahkan nilai guna dari bahan mentah menjadi barang jadi, masing-masing kegiatan pasti menghasilkan karbon. Baik dari penggunaan listrik, bahan bakar, proses kimia, dan lain sebagainya. 

Distributor juga pasti menghasilkan jejak karbon yang cukup besar. Untuk mengantarkan barang maupun jasa menuju konsumen, distributor pasti menggunakan bahan bakar fosil secara masif. 

Proses pembakaran/combustion inilah yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar. Emisi karbon ini lepas ke alam, dan menjadi jejak karbon. 

Terakhir, konsumen sebagai penghabis nilai guna output juga menghasilkan jejak karbon dalam kegiatan konsumsi. Amati saja dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita menuju ke pusat perbelanjaan yang memiliki konsumsi listrik cukup besar dengan kendaraan bermotor. Setelah itu, kita juga menyimpan berbagai bahan makanan dan minuman di kulkas, yang membutuhkan listrik. 

Realita di atas menunjukkan bahwa kehidupan peradaban modern tidak bisa terlepas dari jejak karbon. Jika manusia tidak menghasilkan karbon, berarti tidak ada kegiatan ekonomi sama sekali. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa karbon adalah eksternalitas negatif dari kegiatan kita sebagai makhluk ekonomi; Spillover effect yang muncul dari upaya manusia memenuhi kebutuhannya. 

Jadi, pertanyaan yang harus kita jawab adalah, "Bagaimana cara meminimalisir produksi jejak karbon dari value chain?" 

Ada dua cara yang bisa ditempuh. Keduanya memiliki pendekatan yang berbeda. Cara yang satu termasuk sebagai solusi berbasis regulasi (command and control policy). Sementara, cara yang lain termasuk sebagai solusi berbasis insentif (market-based policy). 

Mari kita kaji masing-masing cara di atas. 

Cara pertama menuntut pembentukan sebuah regulasi baru. Regulasi ini mengatur khusus soal pembatasan produksi jejak karbon. Bentuknya bisa berupa UU, PP, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, ataupun yang lainnya. Tetapi, tujuannya pasti mengarah pada legal enforcement untuk membatasi produksi jejak karbon. 

Pemerintah RI sendiri sudah menempuh cara ini dengan menerbitkan Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Perpres ini terdiri atas 5 kebijakan sektor inti dan kegiatan pendukung untuk mengurangi jejak karbon Indonesia.  

Sektor tersebut mencakup: Kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri, dan limbah (Sirait dalam iesr.or.id, 2012). 

Upaya yang ditempuh mencakup perencanaan, pelestarian, pengurangan aktivitas yang carbon excessive, dan lain sebagainya. Upaya-upaya ini terlihat bagus di atas kertas. Tetapi, bagaimana dengan efektivitasnya? 

Ternyata, produksi jejak karbon dalam lima sektor tersebut menalami penurunan. Berikut adalah pencapaian penurunan emisi karbon dari masing-masing sektor (Bappenas, 2014:24-31). 

Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis
Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis

Angka di atas menunjukkan suatu indikasi yang jelas; Jejak karbon yang dihasilkan Indonesia sudah menurun. Tetapi, penurunan itu belum cukup progresif. It's good, but not good enough. Mengapa penulis berani mengatakan ini? 

Ternyata, produksi jejak karbon dunia meningkat sebesar 46% di tahun 2019. Kini, jumlah karbon dioksida di dunia sudah mencapai 411,97 bagian per juta. 

Padahal, untuk menunjang kualitas hidup manusia, kita harus memotongnya menjadi 350 bagian per juta (Cox dan Cohen dalam dunia.tempo.co, 2019). Bayangkan, kita harus memotong jejak karbon sampai 61,97 bagian per juta, kawan. 

Fenomena ini terjadi meskipun hampir seluruh negara di dunia memiliki instrumen law enforcement untuk membatasi produksi karbon. Clean Air Act sudah berlaku di Amerika Serikat sejak tahun 1970. 

Tiongkok pun sudah memberlakukan Environmental Protection Law sejak tahun 1979. Tetapi, keduanya masih menjadi dua negara produsen karbon terbesar dunia. 

Sumber: theguardian.com
Sumber: theguardian.com

Penjelasan di atas menggambarkan bahwa membuat regulasi baru bukanlah cara yang efektif. Ia tidak akan mampu menghalangi kenaikan produksi jejak karbon. Apalagi memutarbalikkan arah perubahan iklim. Sehingga, kita membutuhkan sebuah solusi baru untuk mengurangi jejak karbon. 

Kebutuhan inilah yang mengarahkan kita menuju cara kedua. Cara ini menuntut pemerintah untuk merancang sebuah market-based policy untuk mengurangi produksi karbon; Carbon Tax atau Pajak Karbon. 

Apa itu pajak karbon? Mengapa kita perlu pajak ini? Bagaimana cara pajak ini bekerja? Apa saja kelebihannya dibanding menambah regulasi? Kapan Indonesia bisa menerapkannya? 

Pembaca pasti penasaran, bukan? Kita akan menjawabnya bersama-sama di bagian kedua tulisan ini. Akan terbit sebentar lagi lagi. 

SUMBER 

www.aquariumofpacific.org. Diakses pada 1 Juni 2019. 

citeseerx.ist.psu.edu. Diakses pada 1 Juni 2019. 

alamendah.org. Diakses pada 1 Juni 2019. 

iesr.or.id/files Diakses pada 1 Juni 2019. 

http://ranradgrk.bappenas.go.id. Diakses pada 1 Juni 2019. 

tempo.co. Diakses pada 1 Juni 2019. 

Disclaimer: Tulisan ini sudah diterbitkan di laman Qureta penulis.

Link: qureta.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun