Mohon tunggu...
Raihan Rahmatullah
Raihan Rahmatullah Mohon Tunggu... Musisi - I'm an International Relations college student

Bass player, music director

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Deradikalisasi di Indonesia

25 Desember 2020   13:10 Diperbarui: 25 Desember 2020   20:33 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berbicara mengenai radikalisme tidak akan ada habisnya, radikalisme akan selalu menjadi ancaman untuk negara. Perlu kita ketahui bahwa radikalisme berkaitan langsung dengan terorisme, sehingga isu ini cukup sensitif ketika muncul di Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia.

Tidak ada definisi khusus yang menjabarkan tentang apa itu radikalisme, namun yang menjadi poin utama adalah radikalisme merupakan sikap ekstrem yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan menggunakan kekerasan, seperti yang dilakukan oleh kelompok teroris.

Untuk itu setiap negara berupaya untuk mengatasi terorisme yakni dengan deradikalisasi. Deradikalisasi merupakan program untuk mengubah seseorang atau kelompok tertentu sehingga dapat berhenti melakukan tindakan terorisme.

Dalam studi Hubungan Internasional, deradikalisasi merupakan lanjutan dari counter-terrorism yakni bagaimana suatu negara merespon segala bentuk aktivitas terorisme dengan berbagai cara, baik dengan militer, intelijen, hukum internasional dan diplomasi. 

Di Indonesia, deradikalisasi menggunakan metode soft approach atau pendekatan secara halus. Mengapa demikian? Asumsinya adalah, ketika seseorang atau kelompok teroris itu ditindak dengan menggunakan kekerasan, hal tersebut justru akan membentuk radikalisme yang baru. 

Dengan kata lain, upaya deradikalisasi kemungkinan akan gagal karena nantinya para teroris menjadi semakin radikal. Pendekatan menggunakan kekerasan kurang cocok untuk diterapkan karena sama sekali tidak membantu dalam mengurangi kelompok teroris dengan paham radikalnya.

Soft approach yang dijalani oleh pemerintah Indonesia memiliki kesamaan dengan negara lain, seperti halnya di Arab Saudi. Upaya deradikalisasi disana lebih memfokuskan pada pelayanan yang diberikan, seperti konseling, bimbingan keagamaan, bimbingan psikis dan lain lain. 

Para narapidana teroris akan diberikan kenyamanan dan akses konseling di dalam penjara agar terhindar dari perilaku radikal setelah dia bebas nantinya, mereka menamai program ini sebagai (Prevention, Rehabilitation and After Care).

Bagaimana dengan Indonesia? Upaya deradikalisasi di Indonesia ditangani oleh lembaga pemerintah (non-kementerian) yaitu BNPT “Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Indonesia” (National Counter Terrorism Agency). 

Dalam pelaksanaan tugasnya, BNPT berdiri melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010, yang nantinya segala aktivitas dan program BNPT dikoordinasikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. 

Menurut Irfan Idris, Direktur Deradikalisasi BNPT memberikan konsep pendekatan deradikalisasi di Indonesia dengan empat poin penting, yaitu Reedukasi, Rehabilitasi, Resosialisasi dan Reintegrasi. 

Reedukasi adalah upaya preventif melalui lembaga atau bahkan mantan narapidana terorisme kepada masyarakat Indonesia, mudahnya yakni dengan cara memberikan dialog atau edukasi tentang bahaya radikalisme dan terorisme ke masyarakat luas.

Dengan ini, masyarakat Indonesia akan lebih terbuka wawasannya untuk mengetahui dan menekankan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh kelompok teroris bukan termasuk keistimewaan Jihad secara Islam. Reedukasi di Indonesia sendiri cukup sering dilakukan dengan menjadikan mantan teroris sebagai pembicaranya. 

Kemudian Rehabilitasi merupakan upaya pembinaan kemandirian serta kepribadian para narapidana terorisme di dalam lapas, guna melatih dan membina para pelaku terorisme untuk mempersiapkan skill dan keahlian pribadi.

Dengan tujuan, nantinya ketika bebas para narapidana teroris akan bekerja dengan cara yang baik dan membuka lapangan kerja baru, serta meninggalkan paham radikal di dalam diri. 

Dalam proses Rehabilitasi, negara bekerjasama dengan berbagai macam pihak, seperti Kementerian Agama, ormas, Kemenkokesra, psikiater bahkan mantan narapidana teroris dari Timur Tengah yang sudah terbebas dari jaringan teroris. 

Mereka didatangkan langsung untuk memberikan dialog penting secara personal tentang pengalaman mereka saat terjebak jaringan teroris dan bahaya paham radikal kepada para narapidana teroris di Indonesia.

Selanjutnya adalah Resosialisasi serta Reintegrasi, guna keduanya adalah bimbingan oleh BNPT sendiri untuk para narapidana dapat bersosialisasi kembali dengan masyarakat Indonesia sehingga dapat memicu rasa integrasi sesama warga. Tidak ada diskriminasi maupun stigma buruk terhadap para teroris kedepannya, BNPT berusaha untuk meminimalisir perbedaan itu melalui program ini.

Namun upaya deradikalisasi tidak selalu identik dengan negara, Indonesia juga menggandeng beberapa LSM untuk terlibat dalam deradikalisasi, karena ada beberapa faktor salah satunya adalah kurangnya aparat dalam mengawasi tindakan terorisme, mengingat Indonesia adalah negara kepulauan. 

Tentu Pemerintah butuh jaringan yang lebih kuat dari masyarakat sendiri dalam membantu upaya deradikalisasi, contohnya adalah melalui Yayasan Prasasti Perdamaian dan Ruangobrol.id. Keduanya fokus dalam urusan perdamaian, konflik, kekerasan politik, terorisme dan lain sebagainya.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah, Apakah upaya deradikalisasi di Indonesia sudah berjalan sebagaimana mestinya? 

Jawabannya mungkin belum maksimal. Program-program yang dirancang oleh BNPT beserta pemerintah Indonesia, dikhawatirkan tidak sesuai ekspektasi publik. Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia masih terbilang lemah dan minim pengawasan, sehingga program yang dirancang sedemikian rupa bisa saja belum terlaksana. 

Sebagian besar Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia memiliki program yang sifatnya sama bagi seluruh pidana. Dari penelitian yang dilakukan oleh Institute For International Peace Building di 13 Lembaga Pemasyarakatan, mereka belum memiliki program khusus untuk narapidana teroris. Alasannya mungkin terkait minimnya fasilitas dan terbatasnya dana untuk pengembangan Lembaga Pemasyarakatan narapidana teroris. Sehingga kerap terjadi kontra deradikalisasi.

Perlunya care center khusus seperti program deradikalisasi di Arab Saudi mungkin bisa menjadi catatan penting bagi Indonesia di masa depan.

Lalu apakah dengan metode soft approach dapat sepenuhnya mengatasi kasus terorisme di Indonesia? Keraguan itu masih menjadi ketakutan tersendiri bagi masyarakat Indonesia.

Berkaca pada Arab Saudi yang memiliki pendekatan yang sama. Mereka melaporkan bahwa setidaknya 3000 tahanan terorisme di Arab Saudi hanya 1.400 yang berhasil meninggalkan paham radikal. Artinya pendekatan yang diambil oleh Indonesia kemungkinan besar masih belum sempurna. 

Karena jika membandingkan dengan fasilitas Arab Saudi yang jauh lebih maju, mereka masih mengalami ketidaksempurnaan program yang dijalani.

Terlepas dari hambatan yang dialami, tidak dapat dipungkiri bahwa deradikalisasi di Indonesia sudah mampu menekan angka terorisme di Indonesia. Dapat kita rasakan beberapa tahun belakangan, kasus terorisme sudah semakin jarang terjadi. 

Kita patut bersyukur karena dengan bantuan segala elemen masyarakat, kita dapat menjadi aktor penting dalam upaya deradikalisasi di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun