Kitab-kitab dan segala injil, ia pedoman lurus sebuah prasangka buruk yang coba ciumi kehidupan. Aku tangis dari ruh-ruh, balita-balita kecewa atas dosa tabiat yang tak termaafkan, setan yang sampai saat ini tersesat. Bagiku, begitu besar doa yang coba kupanjat, tak lain tak bukan—panjati hingga rasuk ke sisi-sisi suci celah hati-Mu yang tak bercela.
Bait-bait doa yang mengancam, ada kekuatiran yang kian merakit, aku mulai takut. Begitu banyak doa kupanjat, Kautak juga sempat-sempatnya mengamini doa umatmu yang mengiman. Dimana Kau? Umat-Mu ini merindukan sosok yang tak bersosok, kalis dari segala kalis, syukur dari segala syukur, mujur dari segala yang mujur.
Bapa...
Bahagia ialah koin emas, disadur dalam kepingan-kepingan syukur, namun manusia buatnya ajur. Ajarkan kami rasa syukur, kala waktu ialah sangkakala derita yang makin tak urai, tak ayal—dosa tak berdema.
Bapa..
Lonceng gerejamu nyanyi lagu damai, kami rinai pekik rindu Engkau yang kuasa. Jemarimu menjerat lembut, kami umat yang sedang putus harap, Kau talikan cinta sambungkan silang jeram-jeram tertuju surga—sampai jumpa ragu raga.
Bapa...
Saya tak rajin pergi gereja, namun Kau menggerejakan hati kotor macam pasir rawa yang basah dan cemar. Kuasamu bak lerak, bak bebuluan indah burung merak, namun maha semarak.
Bapa, Bapa...
Inilah surat syukur atas darah yang Kau korbankan, atas darah hina yang Kau bersihkan, atas dosa yang Kau sucikan. Beri kami damai, sekalipun doa-doa umat-Mu tak segera kau beri amin, kami tetap iman.
2013