Mohon tunggu...
Raya
Raya Mohon Tunggu... Freelancer

Raya Reflections: Life, Love, and Lessons

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perempuan Sulawesi Tengah: Empat Kisah, Seribu Luka, Satu Harapan

8 Oktober 2025   12:35 Diperbarui: 8 Oktober 2025   18:56 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu, saya mendapat kesempatan menghadiri pemutaran film dokumenter yang diselenggarakan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) Indonesia, bekerja sama dengan Korea International Cooperation Agency (KOICA) dan Pemerintah Belanda.

Acara Pemutaran FIlm New Hope - UN Women Indonesia (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Acara Pemutaran FIlm New Hope - UN Women Indonesia (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Acara ini diadakan untuk memperingati 25 tahun Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 1325, sebuah tonggak penting yang menegaskan bahwa perempuan memiliki peran besar dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia.

Sebelum film dimulai, kami diajak mengikuti kuis singkat untuk mengukur seberapa jauh pengetahuan kami tentang Resolusi PBB 1325 ini. Saya tidak menyangka bisa masuk top five.

Leaderboard UN Women 1325 Quiz (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Leaderboard UN Women 1325 Quiz (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Ada rasa sedikit bangga, tapi juga sedih, karena momen itu menyadarkan saya bahwa perjuangan perempuan dalam perdamaian ternyata begitu luas, sementara saya baru menyentuh permukaannya saja.

Sebelum masuk ke ruang pemutaran film, panitia menyiapkan papan besar bertuliskan "Write a message for women around the world." Setiap peserta diberi spidol dan diminta menulis pesan untuk perempuan di seluruh dunia, khususnya di Indonesia.

Saya berdiri cukup lama di depan papan itu sebelum menulis, karena saya yakin pesan sekecil apa pun punya makna besar bagi mereka yang masih berjuang meskipun nggak terlihat.

Begitu lampu ruangan diredupkan dan film mulai diputar, suasana mulai hening. Tak lama, tentu saja saya yang cengeng ini sudah dapat dipastikan menitikkan air mata. Empat kisah perempuan dari Sulawesi Tengah yang ditampilkan di layar begitu menyentuh, sederhana, jujur, tapi sarat keberanian.

Kisah-kisah mereka membuat saya sadar, bahwa menjaga perdamaian bukan hanya urusan diplomasi, tapi juga tentang keberanian hidup di tengah luka dan harapan.

Film yang Membuka Mata

Film tersebut menyoroti empat sosok luar biasa: Rukmini Paata Toheke, Martince Baleona, Nurlaela "Ela" Lamasitudju, dan Fitrah. Mereka bukan hanya membantu masyarakat bangkit setelah konflik, tapi juga menjaga kearifan lokal yang hampir hilang ditelan waktu.

Kalau Kompasianer ingin menontonnya, film ini sudah dapat diakses melalui kanal YouTube UN Women Asia and the Pacific.


Percayalah, setelah menontonnya, kalian mungkin akan melihat perjuangan dengan cara yang berbeda, bahwa hal besar ternyata sering lahir dari tempat-tempat kecil yang penuh ketulusan.

Selain nonton filmnya, saya juga membaca bukunya yang berjudul New Hope: Stories of Women's Peace Movements in Central Sulawesi, yang berisi kisah delapan perempuan pejuang perdamaian dari berbagai wilayah. Tulisan ini saya ambil dari empat perempuan yang ada dalam film tersebut.

Buku New Hope (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Buku New Hope (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Rukmini Paata Toheke: Kebangkitan Tina Ngata di Toro

Rukmini Paata Toheke tampil anggun dengan hiasan kepala manik-manik khas suku Kulawi Moma. Ia menjadi sosok penting dalam kebangkitan budaya di Desa Toro, tempat yang dulu memiliki sosok Tina Ngata, pemimpin perempuan tradisional yang hilang karena pengaruh kolonialisme.

Rukmini Paata Toheke (Sumber: Buku New Hope)
Rukmini Paata Toheke (Sumber: Buku New Hope)

Selama tujuh tahun, Rukmini berdiskusi dengan para tetua adat, menelusuri sejarah, dan menggali nilai-nilai yang hampir punah. Dari proses panjang itu, peran Tina Ngata akhirnya dihidupkan kembali secara resmi. 

Langkah itu bukan hanya terkait melestarikan budaya leluhur, tapi juga untuk memulihkan martabat perempuan agar kembali dihormati di komunitasnya.

Rukmini memperjuangkan hukum waris yang lebih adil, memimpin pembangunan rumah adat, dan mengajarkan nilai-nilai leluhur kepada generasi muda. 

Ia juga aktif di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi, menyesuaikan kearifan lokal dengan tantangan masa kini, mulai dari ketahanan pangan hingga kesiapsiagaan bencana.

Gempa besar tahun 2018 menjadi ujian berat. Namun, berkat sistem cadangan pangan yang kuat, warga di sana tidak hanya mampu bertahan, tapi juga menolong sesama. Saya sempat merinding mendengarnya. Ada kekuatan nyata di balik cara mereka bertahan.


Pesan Rukmini untuk perempuan muda:

"Pertahankan martabatmu, jalankan peranmu dalam menjaga perdamaian dan bumi, dan selalu jaga kearifan leluhur."

Martince Baleona: Pemulihan dan Harapan dari Poso

Dari Desa Lape, Poso, ada Martince Baleona, perempuan yang fokus pada pemulihan dan pemberdayaan pasca konflik. Ia menjadi koordinator di Institut Mosintuwu, mengelola program permakultur dan sekolah perempuan untuk memperkuat ketahanan pangan.

Martince adalah penyintas kerusuhan Poso tahun 2000. Dari pengalaman pahit itu, ia tumbuh menjadi jembatan yang mempertemukan masyarakat lintas agama dan budaya. 

Martince Baleona (Sumber: Buku New Hope)
Martince Baleona (Sumber: Buku New Hope)

Melalui pelatihan pertanian berkelanjutan, para perempuan diajarkan menanam sayur, membuat kompos, dan mengolah hasil bumi agar bernilai ekonomi. Dari sana lahir solidaritas, rasa percaya diri, dan semangat menjaga kedamaian.
Pesan Martince untuk perempuan:

"Mari lindungi tanah, air, dan hutan, yang menjadi sumber kehidupan manusia."

Nurlaela "Ela" Lamasitudju: Menyembuhkan Luka, Menyebarkan Cahaya

Nama Nurlaela "Ela" Lamasitudju sudah dikenal luas di kalangan pegiat perdamaian di Poso. Sebagai penyintas kekerasan konflik 2001, Ela tahu betul bagaimana rasanya kehilangan rasa aman. Namun ia tidak berhenti pada luka. Ia menjadikannya sumber cahaya bagi orang lain.

Nurlaela Lamasitudju (Sumber: Buku New Hope)
Nurlaela Lamasitudju (Sumber: Buku New Hope)

Sebagai Direktur Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Sulawesi Tengah (SKP-HAM Sulawesi Tengah), Ela mendirikan Rumah Belajar Poso bersama Asia Justice and Rights (AJAR).

Di rumah itu, anak-anak bermain, perempuan belajar bertani dan berwirausaha, dan masyarakat lintas komunitas berdialog tanpa rasa curiga. Ela percaya: perempuan yang berdaya akan melahirkan keluarga yang kuat, dan keluarga yang kuat akan melahirkan komunitas yang damai.

Pesan Ela yang paling saya sukai:

"Temukan kualitas terbaik dari dirimu, dan jadilah diri itu. Temukan kenyamanan dalam batinmu, dan tersenyumlah. Temukan kekuatan dalam nadimu, dan jadilah suluh untuk perdamaian."

Saya sempat menuliskan pesan itu di catatan ponsel saya. Entah kenapa, terasa seperti doa yang ingin saya amini.

Fitrah: Suara Perempuan dalam Bencana

Kisah Fitrah dari Sigi juga nggak kalah menggetarkan hati. Saat gempa dan tsunami melanda pada 2018, ia langsung bergerak membangun tenda ramah perempuan, ruang aman bagi perempuan dan anak-anak untuk beristirahat, belajar, dan saling menguatkan.

Fitrah (Sumber: Buku New Hope)
Fitrah (Sumber: Buku New Hope)

Dari situ, Fitrah sadar bahwa bencana berdampak berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Karena itu, perempuan harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan agar kebutuhan mereka tidak terabaikan.

Sebagai anggota Badan Perwakilan Desa termuda, Fitrah aktif mengadvokasi hak perempuan dan anak, menangani kasus kekerasan, serta mencegah pernikahan dini. 

Ia rutin mengadakan lokakarya dan mendampingi korban kekerasan, menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan bukan hanya simbol, tapi fondasi bagi masyarakat yang tangguh dan inklusif.


Pesannya tegas dan membakar semangat:


"Tetap jadi diri sendiri, berani bersuara, dan pantang menyerah."


Dari Akar Rumput untuk Perdamaian

Dari keempat perempuan ini, saya belajar bahwa perdamaian tidak selalu lahir dari ruang besar atau meja perundingan. Kadang, ia tumbuh dari dapur-dapur sederhana, dari tangan yang sabar menanam, dari air mata yang jatuh tapi tak memadamkan harapan.

Sebagai perempuan, saya merasa beruntung bisa menyaksikan kisah mereka pada acara UN Women ini. Saya datang hanya untuk menonton film, tapi pulang dengan hati yang berat, seolah disadarkan bahwa di tempat-tempat kecil seperti Sulawesi Tengah, ada perjuangan yang begitu panjang, melelahkan, namun nyaris tak terdengar.

Itu baru satu wilayah. Saya jadi berpikir, bagaimana dengan daerah lain yang lebih terpencil yang belum pernah kita dengar ceritanya? Atau bahkan di negara-negara konflik, seperti Palestina?

Di balik semua kisah itu, saya nggak hanya melihat semangat, tapi juga kenyataan yang menyentuh dan menyedihkan. Bahwa menjaga perdamaian bukan hal yang indah atau mudah, melainkan perjalanan panjang yang sering tak terlihat, namun tetap dijalani dengan hati yang besar.

Semoga suara perempuan terus menjadi suluh bagi perdamaian di seluruh dunia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun