Film tersebut menyoroti empat sosok luar biasa: Rukmini Paata Toheke, Martince Baleona, Nurlaela "Ela" Lamasitudju, dan Fitrah. Mereka bukan hanya membantu masyarakat bangkit setelah konflik, tapi juga menjaga kearifan lokal yang hampir hilang ditelan waktu.
Kalau Kompasianer ingin menontonnya, film ini sudah dapat diakses melalui kanal YouTube UN Women Asia and the Pacific.
Percayalah, setelah menontonnya, kalian mungkin akan melihat perjuangan dengan cara yang berbeda, bahwa hal besar ternyata sering lahir dari tempat-tempat kecil yang penuh ketulusan.
Selain nonton filmnya, saya juga membaca bukunya yang berjudul New Hope: Stories of Women's Peace Movements in Central Sulawesi, yang berisi kisah delapan perempuan pejuang perdamaian dari berbagai wilayah. Tulisan ini saya ambil dari empat perempuan yang ada dalam film tersebut.
Rukmini Paata Toheke: Kebangkitan Tina Ngata di Toro
Rukmini Paata Toheke tampil anggun dengan hiasan kepala manik-manik khas suku Kulawi Moma. Ia menjadi sosok penting dalam kebangkitan budaya di Desa Toro, tempat yang dulu memiliki sosok Tina Ngata, pemimpin perempuan tradisional yang hilang karena pengaruh kolonialisme.
Selama tujuh tahun, Rukmini berdiskusi dengan para tetua adat, menelusuri sejarah, dan menggali nilai-nilai yang hampir punah. Dari proses panjang itu, peran Tina Ngata akhirnya dihidupkan kembali secara resmi.Â
Langkah itu bukan hanya terkait melestarikan budaya leluhur, tapi juga untuk memulihkan martabat perempuan agar kembali dihormati di komunitasnya.
Rukmini memperjuangkan hukum waris yang lebih adil, memimpin pembangunan rumah adat, dan mengajarkan nilai-nilai leluhur kepada generasi muda.Â
Ia juga aktif di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi, menyesuaikan kearifan lokal dengan tantangan masa kini, mulai dari ketahanan pangan hingga kesiapsiagaan bencana.