Mohon tunggu...
Ratih Noko
Ratih Noko Mohon Tunggu... Administrasi - Less is More

Pecinta buku dan travel

Selanjutnya

Tutup

Money

Catatan Sektor Migas Indonesia

13 Juni 2018   19:03 Diperbarui: 13 Juni 2018   19:09 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Apakah Indonesia tergolong negara kaya minyak?

Hampir setengah (47,7%) cadangan minyak dunia dimiliki oleh negara-negara Timur Tengah. Sedangkan negara Asia Pasifik hanya memiliki 2,8% dan Indonesia diperkirakan hanya memiliki 0,2% cadangan minyak dunia pada 2016. 

Produksi minyak tertinggi di dunia saat ini didominasi oleh 3 negara yaitu, US mencapai 12,4 juta per barrel per hari (share: 13,4 %), Saudi Arabia mencapai 12,3 juta per barrel per hari (share: 13,4%), dan Rusia mencapai 11,2 juta per barrel per hari (share: 12,2%). Lalu berapa produksi minyak Indonesia? Tahun 2016 share-nya 1% terhadap total produksi dunia atau sekitar 881 ribu per barrel per hari.

Indonesia pernah mengalami masa keemasan berkah minyak pada tahun 1970/80-an. Puncaknya terjadi pada 1977 di mana tingkat produksinya melebihi 1,6 juta barrel per hari, kemudian menurun 1,5 juta per barrel per hari dalam kurun waktu 1980-1998 dan selanjutnya terus bergerak turun hingga sekarang (Gambar 1). Akibat produksi minyak nasional yang terus menurun sementara konsumsi domestik terus meningkat maka sejak tahun 2003 Indonesia tercatat menjadi negara net importir minyak.

Kebutuhan minyak yang tinggi tak lepas dari ketergantungan Indonesia terhadap minyak sebagai sumber energi nasional. Sebetulnya sudah ada arah diversifikasi sumber energi dalam Roadmap Bauran Nasional yang tertuang dalam Perpres No.5 Tahun 2006 dan diperbaharui dengan PP No.79 Tahun 2014.  Targetnya tahun 2025 komposisi bauran energi terdiri atas 30% Batubara, 22% Gas, 23% EBT, dan 25% Minyak. 

Sementara posisi tahun 2015 kontribusi minyak dalam Bauran Energi Nasional masih sekitar 47% dan EBT hanya 4%. Namun demikian, meskipun ada prioritas ke arah sumber energi terbarukan, diperkirakan batubara, minyak, dan gas masih menjadi andalan sumber pasokan energi di Indonesia. Kontribusi pasokan energi terbarukan setiap tahun hanya bertambah 0,001% (Wibowo, 2017) sehingga agaknya target 23% EBT pada 2025 akan sulit tercapai.

Kontribusi Migas Bagi Fiskal

Pergerakan pendapatan negara (%PDB) berfluktuasi mengikuti pergerakan penerimaan migas (%PDB). Kontribusi penerimaan migas terhadap PDB pernah mencapai puncaknya pada 1981 yaitu sekitar 15,9%. Namun setelah 1987 kontribusinya menurun dan hanya berada di bawah angka 5% terhadap PDB (Gambar 2). Penerimaan migas terhadap penerimaan negara tahun 2001 mencapai 35,4% lalu menurun menjadi 19,6% (2014) dan terus turun menjadi 8,5% pada 2015.

Harga Minyak Menembus US$70 per barrel

Saat ini harga minyak dunia kian memanas setelah sempat berada di titik terendahnya US$28 per barrel pada Januari 2016. Pada perdagangan Jumat (25/5) harga minyak Brent menyentuh US$78,02 per barel dan WTI US$70,20 per barel. Kenaikan ini terdorong akibat sanksi terbaru dari AS ke Venezuela yang memicu kekhawatiran produksi minyak negara tersebut. 

Presiden Trump mengeluarkan perintah melarang pembelian surat utang kepada pemerintah Venezuela atau terlibat transaksi finansial dengan entitas dimana pemerintah Venezuela memiliki saham lebih dari 50%, termasuk perusahaan minyak Amerika Latin Petroleos de Venezuela. 

Selain itu, penurunan stok global minyak mentah akibat pemangkasan produksi yang dipimpin oleh OPEC serta penarikan diri presiden Trump dari kesepakatan nuklir internasional dengan Iran sehingga membatasi ekspor minyak pada akhirnya berpadu mendorong kenaikan Brent (17,2 %) dan WTI (16,3%) dari sejak awal 2018.

Pemerintah optimis bisa menghadapi harga minyak yang mengalami tren kenaikan. Dirjen Migas Kementerian ESDM menyebutkan bahwa dari data BKF setiap kenaikan harga minyak US$1 per barel, penerimaan negara bertambah sekitar Rp2,8 triliun hingga Rp2,9 triliun. 

Namun, kenaikan harga minyak bumi juga membuat subsidi energi bengkak sekitar Rp2,5 triliun hingga Rp2,6 triliun. Namun demikian masih ada windfall profit sekitar Rp300 miliar.1

Baru-baru ini artikel The Economist yang berjudul 'Does dear oil help or hurt emerging economies? It's complicated' menyebutkan bahwa harga minyak yang tinggi akan merugikan negara importir minyak dan sebaliknya harga minyak rendah akan merugikan negara eksportir minyak. 

Namun untuk kasus Indonesia lebih kompleks karena selain negara net importir minyak, Indonesia juga sebagai eksportir energi yaitu batu bara dan minyak sawit. Oleh karena itu, pada saat harga batu bara, minyak sawit, dan minyak naik secara bersamaan justru Indonesia akan mendapat keuntungan dari harga minyak US$ 100 per barrel.

Berbenah Bisnis Migas

Harga minyak pernah meroket di atas US$100 per barrel pada tahun 2008 dan 2012, namun nyatanya pada saat itu belum mampu mendongkrak penerimaan negara dari sektor migas. Sumber penerimaan negara dari migas terus mengalami penurunan. 

Dari sisi potensi, cadangan minyak Indonesia memang tidak terlalu besar namun baru separuhnya yang sudah digali secara komersil dan sisanya masih terpendam di perut bumi.

Ada banyak hambatan yang masih menjadi beban sektor migas di Indonesia. Penyebabnya tidak hanya karena penipisan cadangan minyak namun juga hambatan investasi untuk eksplorasi dan eksploitasi minyak. 

Beberapa hambatan diantaranya masih mengandalkan sumur-sumur tua produksi minyak sejak 1970-an, iklim investasi eksplorasi sumur minyak baru yang kurang kondusif sejak krisis 1998, regulasi perpajakan, ketidakpastian bisnis, rumitnya perijinan, dan proses audit yang tidak terkoordinasi. 

Salah satu usaha Pemerintah memperbaiki bisnis migas adalah dengan menerapkan skema kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) model baru dengan skema Gross Split setelah Indonesia memakai PSC Cost Recovery selama lebih dari 50 tahun. 

Skema baru ini diantaranya bertujuan untuk mendorong usaha eksplorasi dan eksploitasi yang lebih efektif dan cepat serta mendorong efisiensi para KKKS.

Referensi:

*Kurniawan, R & Amir, H. Aspek Fiskal Bisnis Hulu Migas. 2017. Badan Kebijakan Fiskal

*BP Statistical Review of World Energy, June 2017

*The Crude Curve. The Economist, May 26Th-June 1st 2018.

*1https://katadata.co.id/berita/2018/05/23/pemerintah-klaim-untung-rp-300-miliar-setiap-harga-minyak-naik-us-1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun