Di sebuah gang kecil di daerah Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, aroma sambal dan ayam goreng masih setia menemani hari-hari Ibu Koriyah, yang akrab disapa Budeh. Sejak delapan tahun lalu, ia membuka warung pecel ayam sederhana di depan rumahnya. Dulunya, sang suami yang menjadi tulang punggung usaha kecil ini. Namun, sejak suaminya sakit karena faktor usia, Budeh-lah yang kini meneruskan usaha ini seorang diri demi menyambung hidup dan menyekolahkan dua anak mereka.
Warung Budeh tidak pernah berpindah-pindah, tidak pula dikejar-kejar Satpol PP ataupun preman seperti yang sering dialami pedagang kaki lima lainnya. Ia berdagang secara mangkal, tepat di depan rumahnya, mengandalkan pelanggan dari warga sekitar. Tapi, sejak awal tahun ini, sesuatu berubah.
Sepi Pembeli yang Mulai Terasa Sejak Awal Tahun
"Biasanya jam enam sore itu udah rame, sekarang kadang jam delapan malam aja masih sisa banyak," kata Budeh saat kami berbincang santai di bangku plastik lusuh yang biasa ia duduki sembari menunggu pembeli. Ia menceritakan betapa dagangannya yang dulu habis sebelum malam, kini sering tak laku.
Penurunan omzet ini bukan cuma soal makanan yang tak terjual. Ini tentang kekhawatiran seorang ibu terhadap masa depan anak-anaknya. "Anak saya masih sekolah dua-duanya, yang satu 5 SD, satu lagi kelas mahasiswa semester 2, sebenernya dia pengen nyari kerja atau bantu dagangan abis lulus SMA tapi saya larang, soalnya kuliahin kedua anak saya sampe lulus juga salah satu cita-cita saya, biar gak kaya saya cuma lulusan SD hehe. Tapi kalau gini terus, saya takut enggak bisa terusin bayar sekolah," tambahnya dengan suara pelan.
Harga Naik, Pembeli Menurun, Dagangan Tak Laku
Fenomena ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Harga bahan pokok yang terus naik, daya beli warga yang melemah, serta persaingan dari penjual makanan daring yang makin menjamur jadi kombinasi yang memukul warung-warung kecil seperti milik Budeh.
"Dulu cabe sekilo masih bisa dapet dua puluh ribu, sekarang udah di atas empat puluh. Minyak juga mahal. Tapi saya enggak bisa naikin harga banyak-banyak, nanti orang malah nggak beli," ujarnya.
Kondisi ini membuat Budeh berada dalam dilema. Di satu sisi, ia harus tetap menjaga kualitas dan porsi makanan agar pelanggan tidak kecewa. Di sisi lain, margin keuntungan makin menipis, bahkan kadang tak sebanding dengan jerih payahnya.
Ketika Warung Jadi Sumber Nafkah Satu-satunya