Topeng Kertas
Di balai desa setiap sore, wajah Daris selalu tampak paling ramah. Senyumnya lebar, seakan seluruh persoalan dunia bisa larut dalam lengkungan bibirnya. Tangannya tak pernah lupa terjulur, kata-katanya manis bak gula tebu yang baru diperas. Daris pandai bicara, pandai menenangkan, pandai pula membuat orang percaya bahwa ia adalah lelaki paling tulus di seantero kampung.
Namun, siapa sangka? Di balik senyum lebar itu, Daris sebenarnya seorang aktor kawakan. Topengnya lebih berkilau dari pada sepatu pejabat yang baru disemir. Ia memiliki koleksi topeng lengkap. Topeng ramah, topeng bijak, topeng pahlawan, bahkan topeng penuh iba yang bisa meneteskan air mata dalam tiga detik saja.
"Warga jangan khawatir," ucapnya suatu sore sambil menepuk dada, "jalan becek ini akan segera diperbaiki. Percayakan pada saya. Besok truk material akan datang."
Warga bersorak lega. Padahal, besok yang datang justru hujan deras, mengguyur lubang-lubang jalan hingga berubah menjadi kolam kecil.
Pernah pula ia berkata, "Dana untuk perbaikan mushala sudah cair, tinggal menunggu tukang!" Tapi sebulan berlalu, mushala tetap bocor, jamaah tetap basah, hanya Daris yang makin lihai mengalihkan cerita. "Tukangnya mendadak dapat proyek besar, kasihan kalau saya paksa."
Di warung kopi, warga sering bercanda.
"Kalau Daris bilang 'besok', artinya bulan depan."
"Kalau Daris bilang 'sudah siap', artinya belum mulai."
"Tapi kalau Daris senyum, hati-hati, bisa-bisa kita lupa kalau dompet kosong."
Semua tertawa. Tapi tawa itu adalah tawa getir, tawa yang menertawakan nasib sekaligus kepolosan mereka sendiri.
Meski begitu, ada juga yang masih percaya. Terutama ibu-ibu yang mudah luluh oleh senyuman Daris. "Ya, namanya juga pemimpin, pasti banyak ujian. Sabar saja. Lagi pula Daris itu sopan sama orang tua."
Sementara anak-anak muda kadang berbisik, "Kalau jadi aktor, pasti Daris sudah dapat piala citra."
Malam hari, setelah semua pertunjukan selesai, Daris duduk di depan cermin kecil kamarnya. Satu per satu topeng itu ia lepaskan. Senyum palsu, tatapan meyakinkan, gaya berwibawa, semua lenyap. Yang tersisa hanyalah wajah biasa. Wajah seorang lelaki yang sering lupa siapa dirinya sendiri.
Ia menghela napas panjang.
"Kalau terus begini, aku sendiri tidak tahu... apa aku ini pemimpin, badut, atau sekadar tukang jual janji?"
Namun esok pagi, topeng itu kembali ia kenakan. Di balai desa ia sudah bersiap dengan senyum khasnya.
Kali ini, warga menatapnya dengan wajah setengah jenuh. Seorang bapak tiba-tiba bersuara lantang, "Mang Daris, kapan mushala kita selesai? Jangan-jangan anak saya sudah khatam Al-Qur'an duluan baru atapnya terpasang."
Suasana riuh. Ada yang menahan tawa, ada yang bersorak mendukung. Daris tergagap sejenak, lalu cepat-cepat memasang topengnya.
"Bapak tenang saja. Tukangnya sudah otw. Kalau besok belum mulai, saya sendiri yang pasang gentengnya!"
Sorak-sorai kembali pecah, tapi kali ini disertai tawa lebar, bukan tawa percaya, melainkan tawa mengejek. Warga tahu, janji Daris hanya sekadar kata-kata.
Dan Daris? Ia tersenyum lebih lebar lagi, seolah tak ada yang bisa menembus lapisan topengnya. Padahal di balik senyum itu, hatinya perlahan retak.
Karena sesungguhnya, topeng yang terlalu lama dipakai, lama-lama melekat. Dan Daris mulai takut, kalau suatu hari nanti, ia benar-benar tak bisa lagi menemukan wajah aslinya.
Hari itu balai desa penuh sesak. Warga berkumpul, bukan untuk rapat biasa, melainkan untuk "sidang rakyat kecil." Di tengah ruangan, Daris duduk dengan senyum khasnya, senyum yang dulu membuat banyak orang percaya, tapi kini mulai hambar.
Seorang ibu berdiri, suaranya tegas, "Mang Daris, uang iuran untuk perbaikan jalan kemarin ke mana? Katanya sudah dibelikan semen. Mana semennya?"
Belum sempat Daris membuka mulut, seorang pemuda menyahut, "Jangan tanya semen, Bu. Listrik pos ronda saja masih mati. Katanya sudah diperbaiki, padahal lampunya masih ngedip kayak kunang-kunang."
Gelak tawa meledak. Daris kaku, tapi buru-buru memasang topengnya lagi.
"Tenang, tenang. Semua sudah dalam proses. Kita hanya perlu sabar"
Namun tiba-tiba, seorang kakek maju ke depan. Wajahnya keriput, matanya tajam. Ia mengangkat sebuah benda kecil. Topeng kertas yang dicat dengan senyum lebar.
"Kami sudah tahu, Daris. Kau hanya pandai bicara. Semua janji tinggal janji. Topengmu sudah terlalu lama menipu."
Ruangan hening. Semua mata tertuju pada Daris. Untuk pertama kalinya, ia kehilangan kata-kata. Senyum itu tak lagi bisa terpasang. Tangannya gemetar, seolah topeng-topeng yang ia kenakan selama ini runtuh sekaligus.
Dan tawa pun pecah, bukan lagi tawa ramah, melainkan tawa lepas, tawa orang-orang yang akhirnya sadar bahwa mereka terlalu lama diperdaya.
Sejak hari itu, nama Daris tak lagi dipanggil dengan hormat. Anak-anak kecil suka mengejek dengan lagu sindiran, "Pak Topeng... Pak Topeng..." sambil berlari-lari.
Daris berjalan melewati jalan desa dengan kepala tertunduk. Untuk pertama kalinya ia benar-benar merasakan beratnya wajah sendiri, wajah yang sudah lama hilang di balik topeng.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI