Dan Daris? Ia tersenyum lebih lebar lagi, seolah tak ada yang bisa menembus lapisan topengnya. Padahal di balik senyum itu, hatinya perlahan retak.
Karena sesungguhnya, topeng yang terlalu lama dipakai, lama-lama melekat. Dan Daris mulai takut, kalau suatu hari nanti, ia benar-benar tak bisa lagi menemukan wajah aslinya.
Hari itu balai desa penuh sesak. Warga berkumpul, bukan untuk rapat biasa, melainkan untuk "sidang rakyat kecil." Di tengah ruangan, Daris duduk dengan senyum khasnya, senyum yang dulu membuat banyak orang percaya, tapi kini mulai hambar.
Seorang ibu berdiri, suaranya tegas, "Mang Daris, uang iuran untuk perbaikan jalan kemarin ke mana? Katanya sudah dibelikan semen. Mana semennya?"
Belum sempat Daris membuka mulut, seorang pemuda menyahut, "Jangan tanya semen, Bu. Listrik pos ronda saja masih mati. Katanya sudah diperbaiki, padahal lampunya masih ngedip kayak kunang-kunang."
Gelak tawa meledak. Daris kaku, tapi buru-buru memasang topengnya lagi.
"Tenang, tenang. Semua sudah dalam proses. Kita hanya perlu sabar"
Namun tiba-tiba, seorang kakek maju ke depan. Wajahnya keriput, matanya tajam. Ia mengangkat sebuah benda kecil. Topeng kertas yang dicat dengan senyum lebar.
"Kami sudah tahu, Daris. Kau hanya pandai bicara. Semua janji tinggal janji. Topengmu sudah terlalu lama menipu."
Ruangan hening. Semua mata tertuju pada Daris. Untuk pertama kalinya, ia kehilangan kata-kata. Senyum itu tak lagi bisa terpasang. Tangannya gemetar, seolah topeng-topeng yang ia kenakan selama ini runtuh sekaligus.
Dan tawa pun pecah, bukan lagi tawa ramah, melainkan tawa lepas, tawa orang-orang yang akhirnya sadar bahwa mereka terlalu lama diperdaya.