Semua tertawa. Tapi tawa itu adalah tawa getir, tawa yang menertawakan nasib sekaligus kepolosan mereka sendiri.
Meski begitu, ada juga yang masih percaya. Terutama ibu-ibu yang mudah luluh oleh senyuman Daris. "Ya, namanya juga pemimpin, pasti banyak ujian. Sabar saja. Lagi pula Daris itu sopan sama orang tua."
Sementara anak-anak muda kadang berbisik, "Kalau jadi aktor, pasti Daris sudah dapat piala citra."
Malam hari, setelah semua pertunjukan selesai, Daris duduk di depan cermin kecil kamarnya. Satu per satu topeng itu ia lepaskan. Senyum palsu, tatapan meyakinkan, gaya berwibawa, semua lenyap. Yang tersisa hanyalah wajah biasa. Wajah seorang lelaki yang sering lupa siapa dirinya sendiri.
Ia menghela napas panjang.
"Kalau terus begini, aku sendiri tidak tahu... apa aku ini pemimpin, badut, atau sekadar tukang jual janji?"
Namun esok pagi, topeng itu kembali ia kenakan. Di balai desa ia sudah bersiap dengan senyum khasnya.
Kali ini, warga menatapnya dengan wajah setengah jenuh. Seorang bapak tiba-tiba bersuara lantang, "Mang Daris, kapan mushala kita selesai? Jangan-jangan anak saya sudah khatam Al-Qur'an duluan baru atapnya terpasang."
Suasana riuh. Ada yang menahan tawa, ada yang bersorak mendukung. Daris tergagap sejenak, lalu cepat-cepat memasang topengnya.
"Bapak tenang saja. Tukangnya sudah otw. Kalau besok belum mulai, saya sendiri yang pasang gentengnya!"
Sorak-sorai kembali pecah, tapi kali ini disertai tawa lebar, bukan tawa percaya, melainkan tawa mengejek. Warga tahu, janji Daris hanya sekadar kata-kata.