Koper Hello Kitty berwarna cokelat itu sudah ada sejak masuk kuliah. Sekarang aku penugasan pun koper itu masih sangat baik kondisinya, tidak ada kerusakan sedikitpun. Aku ingat betul saat aku ke pasar membelinya bareng mama. Hanya ada motif Hello Kitty dengan dua pilihan warna, hitam dan coklat. Aku tidak begitu suka warna hitam, terpaksa aku mengambil coklat.
Koper itu sengaja kuletakkan di sudut kamar kos dengan posisi berdiri. Pakaian yang tak seberapa jumlahnya, cukup dimasukkan ke dalam sebuah lemari kecil. Inilah yang membuatku merasa aneh. Ada grasak-grusuk dari dalam koper tersebut. Kupikir tikus yang suka berantem di langit-langit kamar. Hal biasa pikirku. Tak lama kemudian aku meragu, sebab sumber bunyi itu bukan dari atas, tetapi sangat dekat denganku.
Hawa dingin merayap di tengkukku dan bulu kudukku meremang. Bola mataku mengitari sudut kamar yang entah kenapa tiba-tiba aku merasa kamar ini sangat sempit, seperti ingin menghimpit. Kaki gemetaran ketika memijakkan kaki di lantai. Aku meraba kasur mencari hape. Aku lebih memilih menggunakan senter hape ketimbang bangun meraih saklar lampu karena aku merasa tiba-tiba tidak berdaya. Terlebih dalam remang-remang cahaya yang menembus ventilasi.
Sesuatu yang hitam tengah mengalir di lantai. Aku menarik napas dengan berat. Dadaku berdentam hebat. Senter kunyalakan untuk memastikan.
      Respons spontanitas yang bisa kutunjukkan ialah berteriak. Cairan itu menetes-netes dari dalam koper. Cairan merah yang ternyata sudah menggenang di sekitarnya. Aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari cairan merah itu. Dadaku naik turun dan seluruh tubuku terasa kaku. Gedoran pintu kamar semakin mengejutkan, tetapi memberi sedikit kelegaan. Penghuni kamar kos sebelah mungkin terbangun karena teriakanku.
      Aku berusaha meraih gagang pintu. Ternyata Miko dan Andi sudah berada di depan pintu lalu menghambur dan merangkulku. Mereka tak kalah terkejut bercampur panik melihat koper yang meneteskan darah yang sekarang menggenang di lantai.
      "Apa itu?" pekik mereka.
      Aku menggeleng cepat.
      Mereka meraih koper itu dengan hati-hati dan segera membukanya. Isi koper itu tak kalah mengejutkan tatkala dari dalam koper menyembul sebuah kepala kucing. Itu kepala kucing milik Miko juga  ada kucing pemilik kos yang terbelah perutnya. Sekalipun bangkai kucing itu belum mengeluarkan bau, tetap saja perut bergejolak hebat dan ingin sekali rasanya memuntahkannya. Koyakan ditubuh kucing itu masih merah dan terus mengucurkan darah.
      Mata mereka menatapku tajam. "Fan, ini bukan kamu, kan?" tanya Miko.
      Aku spontan menggeleng. Bagaimana mungkin aku berbuat sekeji itu?