Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Badut-Badut I Cerpen BANYU BIRU

29 September 2025   21:15 Diperbarui: 29 September 2025   21:15 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

          Setelah pamor badut telah lama meredup, sekelompok badut tiba-tiba muncul di desa tempat kami ditempatkan sebagai tenaga pengajar. Mereka muncul bergerombol dan menciptakan keriuhan dari desa satu ke desa yang lain. Tidak ada yang tahu siapa mereka dan tidak ada yang tahu dari mana mereka berasal. Mereka datang dan pergi begitu saja.

          Mereka masih sama seperti badut-badut pada umumnya. Berusaha tampil lucu dengan penampilan sulap yang mainstream. Sosok berwajah putih dengan perut besar itu tampil konyol mengundang gelak anak-anak dan orang tua yang menyaksikan. Rasa-rasanya penonton seperti ditarik pada tahun 2000an silam ketika badut sangat dekat dengan anak-anak dan hampir selalu turut meramaikan perayaan ulang tahun.

          Sayangnya, suasana itu tidak bertahan lama. Satu per satu anak-anak di desa tempatku raib. Tidak ada tuduhan macam-macam kepada para badut itu sampai seorang warga datang melapor pernah melihat salah satu dari mereka membawa anak kecil berkeliling desa. Warga tidak langsung percaya, sebab mereka yakin, badut-badut itu adalah pecinta anak-anak bahkan terlihat sopan ketika akan mengakhiri pertunjukan. Tak heran jika riuh tepuk tangan selalu mengiringi kepergian mereka.

          "Saya yakin Pak Kepala Desa, hilangnya anak-anak, pasti ada hubungannya dengan badut-badut itu. Sejak kemunculannya saja sudah aneh." Pak Hartoyo membalik menghadap warga yang hadir rapat. "Sekarang saya tanya, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu. Adakah yang tahu asal-muasal badut-badut itu atau setidaknya kenal satu saja dari mereka?" tanya Pak Hartoyo menantang.

          Seluruh hadirin berbisik satu sama lain, aku, Miko dan Andi menggeleng-geleng. Pak Hartoyo semakin mantap dengan argumennya. "Kalau tidak ada, mereka patut kita selidiki."

         Bisik-bisik berubah menjadi dengungan. Balai desa mulai dipenuhi dengan asumsi-asumsi. "Interupsi, Pak Kepala Desa." Perhatian kini terjurus pada seorang pria umur 50an. "Saya tidak bermaksud membantah Pak Hartoyo, tapi bagaimana jika pelaku sebenarnya adalah orang lain atau bahkan bisa jadi orang kita sendiri."

          "Jangan buat asumsi yang bukan-bukan, Pak Udin," sambar Pak Hartoyo.

           Orang-orang yang tak sependapat dengan Pak Udin menyahut-nyahut juga manggut-manggut. Pak Kepala Desa berusaha menenangkan.

           "Nah, itu dia. Yang mau saya katakana, jika Bapak dan Ibu tidak setuju dengan pernyataan saya, bukankah hal yang sama harusnya berlaku untuk para badut ini?" terang Pak Udin.

            Aku sependapat dengan Pak Samsudin atau yang sering dipanggil Pak Udin itu. Miko dan Andi juga tampaknya sama. Namun, seperti sekam termakan api, sebuah bisikan dengan mudah menyulut asumsi dan emosi para peserta rapat. Tiba-tiba muncul celetukan, "Jangan-jangan Pak Udin ini salah satu dari badut itu, Pak?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun