Mohon tunggu...
Rani Febrina Putri
Rani Febrina Putri Mohon Tunggu... Bachelor of Food Technology | Fiction Enthusiast |

Penyuka fiksi dalam puisi, cerpen, dan novel. Hobi belajar dari buku-buku yang dibaca, orang-orang yang ditemui, lagu-lagu yang didengar, dan tempat-tempat yang dikunjungi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Desember yang Terluka

1 Desember 2024   20:33 Diperbarui: 1 Desember 2024   21:19 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : unsplash.com/AlecDouglas

     

     Kalender di dinding menunjukkan tanggal berukuran besar, tiga puluh satu Desember. Ibu yang sedang sibuk menyetrika pakaian di ruang tengah melirik sekilas ke kalender lalu menghela napas panjang. Aku yang sedang memasak nasi pun ikut menghela napas sambil mencolokkan kabel rice cooker.

     "Libur tahun baru enaknya ngapain ya, Nak?"

     Aku berpura-pura berpikir, padahal sudah tahu akan menjawab apa. "Makan gorengan yang masih hangat, Bu," kataku sambil menatap Ibu.

     "Kenapa hanya makan gorengan?" tanya Ibu. Keheranan telah berhasil hinggap di dahinya yang mengernyit sempurna. Aku hanya tertawa dan menaikkan bahu. Aku harap, Ibu akan tahu sendiri jawabannya.

***

     Desember datang lagi. Begitupun, aku. Masih setia mendatangi Ibu. Tetapi, Ibu belum berubah. Tawanya masih hambar, senyumnya apalagi. Ia hanya berusaha menutupi luka-lukanya yang tak jua mengering. Padahal kemarau sudah berlalu, kini hujan menjadi teman sehari-hari Ibu. Barangkali selain aku, hujan lah yang menjadi saksi betapa kerasnya Ibu terhadap dirinya sendiri. Luka-luka yang belum kering itu, mungkin kini terasa makin perih karena rembesan hujan telah sampai pada bagian luka paling dalam di hatinya. Aku tahu pasti itu. Aku bisa membacanya, karena mungkin, akulah penyebab luka itu, atau mungkin akulah luka itu.

     Seperti sore ini, gerimis jatuh di seluruh kota. Ibu bergegas pulang dari kantornya, menaiki ojek online dengan jas hujan plastik berwarna biru muda. Sepatu hak tingginya basah terkena cipratan genangan air di jalanan, juga gerimis yang kian menjadi hujan. Kemeja kantor yang tadinya rapi, kini kusut dan basah di bagian bahu dan lengannya karena jas hujan tidak menutupinya secara sempurna. Tetapi bukan itu yang membuat Ibu terlihat amat kacau sore ini. Aku membaca kekacauannya dari sudut yang lain.

     Ibu tersenyum dan berterima kasih pada driver ojek online saat tiba di gerbang rumah yang kini catnya banyak yang mengelupas dan berganti karat. Ibu berlari kecil ke teras, kemudian melepas jas hujannya. Terdengar helaan napas panjang sembari ia melepas sepatunya. Brownie menyapa Ibu yang membuka pintu rumah. Ia mengeong, meminta makan, padahal belum waktunya makan malam. Barangkali dia juga seperti kita, yang terkadang merasa lapar ketika hujan.

     Setelah memberi makan Brownie, Ibu bergegas mandi. Sambil menunggu Ibu mandi, aku sudah tahu apa yang akan dia lakukan. Ibu akan mencuci baju, menyetrika, mencuci piring, menyapu, mengepel, lalu memasak untuk makan malam. Tidak terlalu banyak pekerjaan, namun Ibu selalu begitu. Seolah tak ada waktu untuk bersantai sejenak, atau barangkali bukan perihal ada dan tiada waktu itu, tetapi perihal mau atau tidaknya Ibu bersantai. Dari perangai yang kuamati kurang lebih hampir setahun ini, Ibu tentunya tidak mau bersantai. Baginya, waktu santai itu justru akan membuatnya merasakan luka itu. Aku tahu betul bagaimana rasanya menyibukkan diri untuk menepis kesedihan, masalah, dan kerumitan hidup. Di usiaku yang hampir menginjak 20 tahun awal kala itu, adalah masa-masa puncak aku merasakan itu. Ibu tak lagi semuda dulu, tetapi jiwanya yang selalu ingin produktif masih saja melekat. Aku tidak masalah asalkan itu membuatnya nyaman. Tetapi, jika luka yang berusaha Ibu tutupi itu adalah aku, bagaimana aku bisa tenang melihatnya menderita sendirian seperti itu?

     Namun, ternyata hari ini berbeda. Aku terheran-heran, begitu juga Brownie di sudut ruang makan yang sedang tidur-tiduran karena kekenyangan. Ia mengeong melihat Ibu memasak sesuatu.

     "Urutannya bukan seperti ini. Biasanya Ibu akan memasak setelah semua kegiatannya selesai. Kenapa ini dia masak duluan padahal pekerjaan yang lain belum dikerjakan?" gerutuku dalam hati.

     Brownie mengeong sambil berpindah tempat, mengikuti langkah Ibu, lalu bermanjaan di situ. Ibu tetap fokus pada bahan masakan di depannya. Ia mengupas lima buah pisang kepok, sepertinya tingkat kematangannya sangat pas untuk dijadikan pisang goreng. Ibu lanjut membuat adonan tepungnya, ia menambahkan sedikit perisa vanila. Harumnya bahkan sudah membuat lapar sebelum menu itu menjadi pisang goreng sungguhan. Aku menjadi rindu pisang goreng Ibu setelah setahun ini tidak pernah memakannya. Walaupun dahulu pun aku makan sendirian, karena Ibu hanya memasak, lalu sibuk dengan pekerjaannya lagi.

      Beberapa saat kemudian, harum pisang goreng memenuhi seluruh penjuru ruangan. Warna keemasan khas pisang goreng sudah menggugah seleraku. Ibu menyajikannya di piring putih polos tanpa motif bunga-bunga ataupun garis-garis. Ibu memarut sedikit keju untuk dijadikan topping. Ia tahu betul kesukaan anaknya.

      Ibu duduk di teras ditemani sepiring pisang goreng. Brownie mengikutinya, begitupun aku, ikut mengekor di belakang Brownie. Ibu termenung menatap dedaunan yang basah selepas diguyur hujan. Mendung masih memayungi bumi, memberi tanda bahwa hujan mungkin akan datang lagi.

     Ibu menikmati sepotong demi sepotong pisang goreng hangat. Lalu, Bu Cika, tetangga kami, datang menghampiri Ibu, membawa sekantung plastik entah apa isinya.

     "Duh enak sekali itu pisang gorengnya, May!" celutuk Bu Cika sambil masuk ke teras.

     Ibu hanya tertawa kecil sambil menawarkan.

    "Ini aku bawa jambu air. Pohon di belakang rumahku panen."

     Ibu mengangguk, berterima kasih.

    "Aku cicip satu ya!" ujar Bu Cika sambil melahap pisang goreng yang masih hangat itu.

    "Ohya, itu sembako sebanyak itu mau untuk sedekah satu tahunan Alina ya? Mau kubantu bagikan?" tanya Bu Cika sambil melirik ke ruang tamu karena pintu rumah tak tertutup sempurna. Ada tumpukan paket sembako berisi beras, minyak, mie instan, dan gula pasir.

     Ibu menoleh dan mengangguk. "Boleh, besok pagi saja sewaktu arisan." Senyum terbit di bibirnya. Kali ini aku bisa membaca senyum Ibu sudah lebih damai dan ikhlas.

     "Ternyata, makan gorengan selagi masih hangat begini juga sebuah kenikmatan dan kebahagiaan, ya," celutuk Ibu setelah beberapa saat hening menghampiri mereka berdua. Bu Cika tersenyum lebar, lalu mengangguk.

     Namun senyumku lebih merekah, bahkan lebih mekar dibandingkan bunga mawar merah yang ada di halaman rumah. Akhirnya, Ibu menyadari hal yang aku sarankan untuk dilakukan di libur akhir tahun kala itu, tepat setahun yang lalu. Meskipun aku tidak bisa melakukannya bersama Ibu, setidaknya aku bisa membaca kebahagiaan Ibu yang mulai muncul dengan damai, meskipun luka-lukanya masih menganga.

     Aku terdiam, mencoba membaca luka-luka Ibu yang selama ini ditutupinya. Sepertinya kini makin perih karena sorot matanya tak bisa membohonginya bahwa dia sedang dalam duka yang mendalam. Luka di batinnya yang masih basah itu turut memprihatinkan. Tetapi, aku lihat kini Ibu lebih menikmati luka itu, berdamai dengan keadaan, dan mencoba bersantai, menikmati waktu yang terasa berjalan lambat. Aku sedikit merasa lega, meski Ibu masih terluka, terlebih di bulan Desember ini, dan Desember lalu, ataupun Desember yang akan datang. Setidaknya, Ibu bisa memvalidasi perasaan Ibu, mengizinkan dirinya bersedih. Aku berharap Ibu menyadari bahwa ia punya luka, dan itu perlu disembuhkan perlahan. Luka itu terbaca jelas dari segala sisi aku memandangnya. Dengan menyadari adanya luka itu, perlahan, waktu akan mengeringkan sisanya. Tidak hanya luka pada batin Ibu, tetapi juga luka pada bulan ini, yang terpatri dalam setiap jejak tanggal ke tanggalnya.

     Aku berbisik pada Ibu, yang mungkin takkan pernah terdengar dari telinganya. Tetapi aku yakin, Ibu bisa mendengar dari batinnya.

     "Bu, mari jangan terus menerus melukai bulan Desember yang tak salah ini. Semua takdir sudah dituliskan di bulan ini, ataupun bulan-bulan selanjutnya. Jangan lukai Ibu sendiri juga ya, karena aku sekarang hanya bisa menjadi pembaca luka, yang terluka, tanpa bisa berbuat apa-apa. Sampai bertemu lagi di surga, Bu." 

 

***

#cerpentutuptahun #pulpen #sayembarapulpenxxii

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun