Mohon tunggu...
Rani Febrina Putri
Rani Febrina Putri Mohon Tunggu... Bachelor of Food Technology | Fiction Enthusiast |

Penyuka fiksi dalam puisi, cerpen, dan novel. Hobi belajar dari buku-buku yang dibaca, orang-orang yang ditemui, lagu-lagu yang didengar, dan tempat-tempat yang dikunjungi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Desember yang Terluka

1 Desember 2024   20:33 Diperbarui: 1 Desember 2024   21:19 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : unsplash.com/AlecDouglas

     Ibu menoleh dan mengangguk. "Boleh, besok pagi saja sewaktu arisan." Senyum terbit di bibirnya. Kali ini aku bisa membaca senyum Ibu sudah lebih damai dan ikhlas.

     "Ternyata, makan gorengan selagi masih hangat begini juga sebuah kenikmatan dan kebahagiaan, ya," celutuk Ibu setelah beberapa saat hening menghampiri mereka berdua. Bu Cika tersenyum lebar, lalu mengangguk.

     Namun senyumku lebih merekah, bahkan lebih mekar dibandingkan bunga mawar merah yang ada di halaman rumah. Akhirnya, Ibu menyadari hal yang aku sarankan untuk dilakukan di libur akhir tahun kala itu, tepat setahun yang lalu. Meskipun aku tidak bisa melakukannya bersama Ibu, setidaknya aku bisa membaca kebahagiaan Ibu yang mulai muncul dengan damai, meskipun luka-lukanya masih menganga.

     Aku terdiam, mencoba membaca luka-luka Ibu yang selama ini ditutupinya. Sepertinya kini makin perih karena sorot matanya tak bisa membohonginya bahwa dia sedang dalam duka yang mendalam. Luka di batinnya yang masih basah itu turut memprihatinkan. Tetapi, aku lihat kini Ibu lebih menikmati luka itu, berdamai dengan keadaan, dan mencoba bersantai, menikmati waktu yang terasa berjalan lambat. Aku sedikit merasa lega, meski Ibu masih terluka, terlebih di bulan Desember ini, dan Desember lalu, ataupun Desember yang akan datang. Setidaknya, Ibu bisa memvalidasi perasaan Ibu, mengizinkan dirinya bersedih. Aku berharap Ibu menyadari bahwa ia punya luka, dan itu perlu disembuhkan perlahan. Luka itu terbaca jelas dari segala sisi aku memandangnya. Dengan menyadari adanya luka itu, perlahan, waktu akan mengeringkan sisanya. Tidak hanya luka pada batin Ibu, tetapi juga luka pada bulan ini, yang terpatri dalam setiap jejak tanggal ke tanggalnya.

     Aku berbisik pada Ibu, yang mungkin takkan pernah terdengar dari telinganya. Tetapi aku yakin, Ibu bisa mendengar dari batinnya.

     "Bu, mari jangan terus menerus melukai bulan Desember yang tak salah ini. Semua takdir sudah dituliskan di bulan ini, ataupun bulan-bulan selanjutnya. Jangan lukai Ibu sendiri juga ya, karena aku sekarang hanya bisa menjadi pembaca luka, yang terluka, tanpa bisa berbuat apa-apa. Sampai bertemu lagi di surga, Bu." 

 

***

#cerpentutuptahun #pulpen #sayembarapulpenxxii

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun