Apakah ini berarti rakyat bodoh? Tidak. Rakyat kita sebenarnya cerdas. Mereka tahu permainan ini kotor. Tapi mereka juga tahu: di negeri ini, orang jujur susah bertahan. Maka rakyat memilih cara paling praktis: nikmati saja, ambil sembakonya, terima uang transportnya, lalu pilih sesuai hati atau sesuai isi dompet. Demokrasi Indonesia akhirnya jatuh ke dalam lubang paling berbahaya: rakyat kehilangan harapan, tapi juga kehilangan pilihan.
Kalau Tan Malaka hidup hari ini, mungkin ia akan tertawa. Tapi tawa itu bukan tawa bahagia. Itu tawa getir, tawa sinis seorang idealis yang melihat cita-citanya dijadikan bahan jualan murahan. Ia akan berkata: "Dulu kita berjuang mati-matian melawan penjajah asing. Sekarang, kalian dijajah oleh bangsa sendiri dengan dalih demokrasi." Dan setelah itu, mungkin ia akan berdiri, menulis satu kalimat di papan tulis warung kopi:
"Demokrasi tanpa rakyat hanyalah oligarki dengan panggung musik dangdut."
Lalu ia akan pergi, meninggalkan kita yang masih sibuk berdebat di televisi, sambil menunggu gilirannya lagi dicurangi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI