1. Firman Allah SWT :
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-Mumtahanah : 10]
2. Sebab, murtad merupakan perbedaan agama, yang dapat menghalangi untuk mendapatkan dirinya, sehingga pernikahan pun menjadi batal. Hal ini sebagaimana jika seorang istri masuk Islam, sementara dirinya berstatus sebagai istri dari suami yang kafir.
Adapun jika murtadnya setelah melakukan persetubuhan, maka pembatalan pernikahannya ditangguhkan sampai masa iddahnya habis. Dalam menentukan yang demikian itu, mereka berdalil dengan qiyas.
Mereka berkata : Sesungguhnya salah seorang dari pasangan suami-istri yang murtad atau berbeda agama setelah melakukan persetubuhan, maka pernikahannya tidak harus menjadi batal pada saat itu juga. Hal ini sebagaimana jika salah seorang dari suami-istri yang sah masuk Islam.
Pendapat Ketiga :
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya,Ibnul Qayyim, apabila salah seorang dari pasangan suami-istri murtad, maka pernikahannya harus dibekukan. Apabila dia kembali masuk Islam, maka pernikahannya sah lagi, baik dia masuk Islam sebelum bersetubuh atau setelahnya, baik dia masuk Islam sebelum masa iddahnya habis atau sesudah masa iddahnya habis
Penjelasan untuk Pendapat Ketiga :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam rangka mejelaskan bahwa hukum Islam apabila salah seorang dari suami-istri murtad, maka pernikahan keduanya harus dibekukan : “Demikian pula masalah murtad, pendapat yang menyatakan harus segera diceraikan adalah menyelisihi sunnah yang telah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab pada masa beliau, banyak pula manusia yang murtad. Di antara mereka ada yang istrinya tidak ikut murtad. Kemudian, mereka kembali masuk Islam lagi, dan istri-istri mereka pun kembali lagi kepada mereka. Tidak pernah diketahui bahwa ada seorangpun dari mereka yang disuruh memperbaharui pernikahannya. Padahal, sudah pasti bahwa di antara mereka ada yang masuk Islam setelah sekian lama, melebihi masa iddah. Demikian pula, sudah pasti bahwa mayoritas dari istri-istri mereka yang tidak murtad tersebut, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menanyakan secara mendetail kepada seorang pun dari suami-suami yang murtad, apakah ia masuk Islam setelah masa iddah istrinya habis atau sebelumnya.
Secara umum, pendapat mayoritas untuk masalah ini adalah :
Apabila suami MURTAD (kembali ke agama asal), maka pernikahan menjadi batal demi hukum yang dalam istilah fiqih disebut fasakh (arti literal, rusak). Ini adalah pendapat dari mayoritas pakar syariah madzhab yang empat yaitu madzhab Syafi'i, Hanafi, Hambali. Artinya, tidak ada hubungan pernikahan lagi antara suami dan isteri. Dan hubungan intim setelah itu dianggap zina.
Sedangkan menurut madzhab Maliki, suami murtad akan berakibat istri tertalak tiga secara otomatis.