Nayla menunduk, menahan gejolak emosi. Ia mulai mengingat sedikit demi sedikit. Tidak semua, tapi cukup untuk membuat hatinya merasa... dekat.
Sementara itu, keluarga Nayla justru semakin suram. Ibunya mendapat kabar bahwa rumah yang mereka tempati terancam disita karena tunggakan pinjaman. Ayahnya belum mendapatkan pekerjaan baru. Dan meski Nayla mulai pulih, biaya rumah sakit semakin menggunung.
Namun, Nayla tak sengaja mendengar percakapan itu dari balik pintu yang sedikit terbuka. Air matanya langsung jatuh. Ia merasa bersalah... dan tak berdaya.
Malam itu, Nayla duduk di balkon kecil kamar rumah sakit, ditemani Raka. Mereka diam lama, hanya menikmati angin yang menyapa wajah.
"Ka... kalau suatu saat aku harus keluar dari rumah sakit ini karena orangtuaku gak sanggup bayar... kamu masih mau temenan sama aku?" tanya Nayla tiba-tiba.
Raka menoleh. "Aku akan lebih dari sekadar teman, Nay."
"Kenapa kamu selalu bilang kayak gitu?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada lirih.
Raka menarik napas panjang. "Karena aku gak pengen kehilangan kamu lagi. Kamu mungkin belum ingat semuanya, tapi aku... aku tahu perasaanku."
Nayla memejamkan mata, mencoba menahan air mata. "Kalau aku nggak pernah bisa balas perasaanmu... kamu masih akan bertahan?"
Raka tersenyum kecil. "Aku nggak nuntut kamu ingat. Aku cuma pengen nemenin kamu... sampai kamu siap, atau sampai kamu benar-benar lupa siapa aku."
Di sisi lain, Tania tidak tinggal diam. Ia menyebarkan gosip bahwa Raka dan Nayla berselingkuh, lengkap dengan foto-foto lama mereka. Kabar itu menyebar di media sosial dan membuat Nayla terpuruk.