"Tan, aku minta maaf... Tapi hubungan ini... nggak sehat buat kita berdua."
Tania menatapnya tajam. "Karena Nayla?"
Raka mengangguk. "Sebagian karena Nayla... Tapi lebih dari itu, aku sadar aku selama ini bohongin diriku sendiri. Aku nggak bisa terus jalanin hubungan ini kalau hati aku ada di tempat lain."
Tania menahan air mata, tapi tidak bisa membendungnya. "Aku benci kamu..."
Raka berdiri. Ia tak membalas. Ia tahu luka ini akan memakan waktu untuk sembuh, tapi lebih menyakitkan lagi jika harus terus hidup dalam kebohongan.
Sore itu, Raka kembali ke rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Ia tak tahu apakah Nayla akan menerima perasaannya, atau tetap tak mengingat siapa dia sebenarnya.
Namun saat ia masuk ke kamar Nayla, gadis itu menatapnya penuh tanya.
"Ka... kamu pernah jatuh waktu kecil, di depan apotek? Aku tiba-tiba inget... ada anak cowok pake baju merah, dan aku bantuin dia."
Raka menahan napas. "Itu aku."
Nayla tersenyum kecil. "Mungkin... hati kita udah saling kenal dari dulu ya, sebelum kita tahu apa itu cinta."
Raka tak berkata apa-apa. Ia hanya menggenggam tangan Nayla lebih erat.