Rumah sakit itu tampak sunyi sore itu. Angin berdesir lembut, menyelusup masuk lewat jendela terbuka kamar Nayla. Ia duduk diam di kursi roda, menatap kosong ke taman di luar. Wajahnya masih pucat, dan matanya menyimpan lelah yang sulit diuraikan.
Di sudut ruangan, ibunya tampak menelpon sambil sesekali memegang pelipis. Ayah Nayla baru saja diberhentikan dari pekerjaannya karena perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. Dan biaya pengobatan Nayla semakin menumpuk.
"Bu, aku denger tadi... Ayah di-PHK ya?" tanya Nayla pelan.
Ibunya terkejut, lalu mencoba tersenyum. "Nggak usah dipikirin, Nak. Kamu fokus aja sembuh."
"Tapi aku bukan anak kecil lagi, Bu. Aku tahu semuanya berat," ucap Nayla lirih, matanya mulai berkaca-kaca.
Sementara itu, Raka berdiri di luar kamar, mendengarkan tanpa sengaja. Ada sesak yang menghimpit dadanya. Ia ingin membantu, tapi tak tahu bagaimana caranya tanpa membuat Nayla merasa kasihan.
Di sisi lain, Tania yang sejak Nayla koma selalu setia menemani Raka, mulai merasa posisinya terancam. Ia mulai sering memantau pergerakan Raka, bahkan memaksa ikut setiap kali Raka ingin menjenguk Nayla.
"Kenapa kamu terus ke rumah sakit sih? Kamu itu pacarku, bukan perawatnya Nayla," ujar Tania suatu malam lewat telepon.
Raka terdiam. "Aku cuma ingin bantu Nayla. Dia butuh teman bicara Tan."
"Tapi kamu gak sadar ya, kamu udah berubah! Dulu kamu selalu cerita semuanya ke aku, sekarang malah... kamu tutup-tutupin!"